visitaaponce.com

Menyikapi Tuntutan Jaksa Hukuman Mati plus Kebiri, Kok Bisa

Menyikapi Tuntutan Jaksa Hukuman Mati plus Kebiri, Kok Bisa?
Ilustrasi: Coretan di dinding meminta kekerasan seksual disetop dengan memberikan hukuman berat kepada pelakunya.(Ant/Andreas FA)

HERRY Wiriawan, pelaku rudapaksa terhadap belasan murid perempuannya, dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan hukuman mati serta hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

Pada satu sisi, tuntutan berupa hukuman mati sudah mewakili sepenuhnya suasana batin kebanyakan anggota masyarakat yang begitu murka, sedih, sekaligus takut terhadap perbuatan terdakwa. Hukuman mati dianggap sebagai ganjaran setimpal yang sudah sepatutnya dikenakan kepada manusia kejam yang sudah melakukan kebiadaban terhadap orang-orang yang semestinya berada dalam perlindungan serta di bawah didikannya.

Namun ketegasan jaksa lewat tuntutannya itu justru menjadi membingungkan tatkala digandengkan dengan tuntutan hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

Hukuman mati merupakan manifestasi filosofi retributif dalam penghukuman. Filosofi ini berpandangan bahwa mata harus dibalas mata, sakit dibalas sakit, penderitaan dibalas dengan penderitaan pula. Termasuk penderitaan maksimal berupa pencabutan nyawa.

Filosofi retributif memosisikan terdakwa sebagai seseorang yang tidak pantas diberikan kesempatan untuk mengubah nasibnya. Begitu rusak dan mengerikannya perbuatan terdakwa, sehingga ia sampai-sampai dipandang sebagai manusia yang tidak akan mungkin berubah tabiat dan perilakunya. Sehingga, demi menjamin pulihnya rasa aman masyarakat, sekaligus melunasi utang pelaku atas penderitaan yang dialami oleh para korban, maka sudah sepatutnya manusia keji alias predator seksual diganjar dengan diakhiri hidupnya.

Filosofi tersebut bertolak belakang sepenuhnya dengan praktik kebiri. Kebiri kimia,  sebagaimana dalam ketentuan hukum di Indonesia dan praktik di sekian banyak negara, sama sekali tidak diposisikan sebagai langkah untuk melipatgandakan penderitaan pelaku kejahatan seksual. Kebiri bukan merupakan bentuk hukuman tambahan yang ditujukan sebagai bentuk balas dendam terhadap pelaku. Sebaliknya, kebiri merupakan implementasi dari filosofi rehabilitasi dan filosofi reintegrasi

Pelaku kejahatan, dalam filosofi rehabilitasi disikapi sebagai manusia yang sakit, bermasalah, dan membutuhkan bantuan untuk pulih. Rehabilitasi atau pengobatan, dengan demikian, dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian negara terhadap pelaku kejahatan yang sesungguhnya memiliki peluang untuk sembuh. Dengan memberikan rehabilitasi kepada terdakwa,  negara memberikan ruang kedua bagi yang bersangkutan untuk kemudian menjalani reintegrasi.

Reintegrasi sendiri merupakan salah satu filosofi penghukuman yang melihat pelaku kejahatan sebagai manusia yang suatu saat harus bisa dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat dan keluarganya sebagai insan yang produktif dan lebih bertanggung jawab

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan bentuk pengobatan agar suatu saat sang pelaku bisa menjalani kehidupan normalnya dengan tingkat keadaban yang lebih baik daripada semula.

Filosofi retributif, rehabilitasi, dan reintegrasi sejatinya tidak bisa didudukkan secara eklektik. Ketiganya tidak bisa dipaksagandengkan karena masing-masing filosofi tersebut justru berasal muasal dari cara pandang yang bertolak belakang mengenai perilaku dan pelaku kejahatan itu sendiri

Dari situlah tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Herry pada satu sisi patut diapresiasi namun pada sisi lain patut pula dikritisi

Kontradiksi antar ancaman pidana dalam tuntuatan jaksa tak pelak muncul kekhawatiran tentang kemungkinan otoritas penegakan hukum tidak begitu akurat dalam memahami posisi kebiri dalam hukum pidana di Tanah Air. Apalagi jika Perpres terkait kebiri dibaca secara seksama, kata 'kebiri' ternyata sama sekali tidak digandengkan dengan kata 'hukuman'. Yang mendahului kebiri kimiawi adalah kata 'tindakan', bukan 'hukuman'.

Demikian pula kebiri di Indonesia baru diselenggarakan setelah seorang narapidana menyelesaikan masa hukuman pokoknya. Ketika hukuman pokok tersebut berupa hukuman mati, kebiri yang dilaksanakan pasca narapidana dieksekusi mati tentu tidak memiliki relevansi apalagi manfaat sama sekali.

Praktik kebiri pun, sesuai ketentuan, dijalankan bersama dengan program-program rehabilitasi lainnya. Peraturan sedemikian rupa semakin menegaskan bahwa kebiri sama sekali tidak ditujukan untuk memunculkan rasa sakit, tidak dimaksudkan untuk memperpanjang masa penderitaan, tidak dilaksakan untuk memunculkan kepedihan ekstra di samping hukuman mati itu sendiri. Kebiri, tidak lain, ditujukan untuk menyembuhkan kondisi pelaku dan kelak mengembalikan pelaku ke tengah-tengah komunitasnya.

Bahkan andaikan hukuman kebiri ditempatkan sebagai tuntutan alternatif, ini pun sulit untuk diterima nalar. Bagaimana mungkin otoritas penegakan hukum pada satu saat memandang bahwa pelaku kejahatan harus dijatuhi hukuman maksimal, namun pada saat berikutnya otoritas yang sama banting setir seratus delapan puluh juta derajat dengan meminta kepada majelis hakim agar pelaku dibiarkan hidup dan diberikan perlakuan yang manusiawi guna menjalani kehidupannya secara lebih baik.

Kerancuan antara hukuman mati dan kebiri pada satu berkas tuntutan mengindikasikan adanya kekeliruan pikir. Tidak hanya ini mendatangkan kompleksitas proses penegakan hukum atas kasus itu sendiri, tetapi juga tumpang tindihnya filosofi yang dianut jaksa memantik kebingungan bahkan menjerumuskan kian dalam kesalahkaprahan publik tentang kebiri di Indonesia. Allahu a’lam.

Reza Indragiri Amriel
Konsultan, Lentera Anak Foundation

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat