visitaaponce.com

Fortinet Adopsi Digital Tingkatkan Tren Serangan Siber

Fortinet: Adopsi Digital Tingkatkan Tren Serangan Siber
Vice President for Southeast Asia and Hong Kong, Fortinet, Peerapong Jongvibool.(Ist)

TRANSFORMASI digital mendorong pelaku bisnis di Indonesia untuk mempercepat proses mengadopsi teknologi. Akselerasi tersebut ternyata meningkatkan jumlah serangan terhadap sistem keamanan teknologi informasi.

Menurut Peerapong Jongvibool, Vice President for Southeast Asia and Hong Kong, Fortinet, meskipun digitalisasi sangat membantu operasional bisnis, namun di sisi lain juga meningkatkan cyber-attack hingga lebih dari 1 juta serangan.

“Di Indonesia, jumlah serangan sebanyak 1,65 juta per hari dari berbagai area yang berbeda. Ini bukanlah serangan yang kecil sama sekali," kata Peerapong dalam keterangan pers, Senin (6/3).

"Hal ini terjadi di Indonesia pada Quartal IV tahun lalu. Dari pertemuan forum ekonomi yang saya ikuti lima tahun yang lalu, banyak perusahaan yang sudah mulai mempertimbangkan untuk mengembangkan tim profesional untuk keamanan siber mereka," jelasnya.

"Jadi saya melihat ini adalah salah satu tantangan utama yang kita hadapi secara global, yaitu kurangnya tenaga profesional di bidang ini,” tutur Peerapong.

Baca juga : Ransomware dan Phishing Kian Merajalela

Menurut Peerapong, Fortinet berkomitmen secara global untuk melatih satu juta tenaga keamanan siber yang tepat.

“Dan kami sudah mencapai target tersebut setelah empat tahun diumumkan. Di Indonesia sendiri sekitar hampir 30 ribu sertifikat telah diberikan," katanya.

"Kami merasa bahwa kami merilis banyak solusi keamanan, kami memberikan kepada para pelanggan portal khusus untuk melatih kesadaran akan keamanan siber. Selain itu ada juga pelatihan yang kami berikan secara gratis,” terang Peerapong.

Berdasarkan laporan Fortinet pada Quartal IV 2022 yang lalu, lebih dari satu juta serangan berupa virus dan botnets yang terjadi setiap hari.

Tantangan keamanan data pada hari ini pun cukup banyak, yaitu tren WFA (work from anywhere) yang sudah mulai menjamur di berbagai perusahaan, banyaknya perangkat yang terpasang aplikasi, kekurangan jumlah tenaga ahli bidang keamanan siber dan sebagainya.

“Peretas hari ini sudah sangat cerdas, mereka bahkan mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dalam melakukan serangan, yang mampu melihat bagian terlemah dari lingkungan pengguna yang ditargetkan. Mereka lebih dipersenjatai dan menggunakan teknologi yang berbeda,” ungkapnya.

Peerapong menambahkan bahwa saat ini semua orang sudah terhubung satu sama lain dan setiap orang perlu memastikan bahwa konektivitas mereka ke cloud aman, dan mereka memiliki pemahaman tentang keamanan cloud.

Selain itu, ia juga mengingatkan pentingnya menjaga infrastruktur (operation technology) seperti pembangkit listrik, bendungan air, bandara dari serangan siber karena merupakan infrastruktur kritis. 

“Apakah jaringan listrik itu berfungsi dengan baik atau tidak karena dampaknya bagi negara, bisnis hingga masyarakat. Tahun lalu ada pembangkit listrik yang diretas dan sangat berdampak bagi ekonomi dan kehidupan warga juga.”

Ia menegaskan bahwa teknologi yang mampu menghubungkan beragam perangkat operasional sehingga bisa memiliki visibilitas dan kontrol yang lebih baik sangat dibutuhkan karena tidak ada yang ingin pergi ke lokasi hanya untuk memperbaharui perangkat lunak.

“Kami ingin menemukan cara yang lebih efisien untuk benar-benar memperbarui perangkat lunak dari jarak jauh untuk memastikan bahwa mesin berjalan dengan lancar.”

Peerapong memaparkan bahwa transformasi digital akan memberikan dampak di tahun 2030 sebesar 300 milliar US Dollar.

Meski demikian, kesenjangan tenaga ahli siber berkontribusi terhadap 72 persen pelanggaran terhadap sistem keamanan di Asia. (RO/S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat