visitaaponce.com

Penelitian Cisco Hanya 20 Organisasi Indonesia yang Siap Terapkan AI

Penelitian Cisco: Hanya 20% Organisasi Indonesia yang Siap Terapkan AI
Ilustrasi.(Dokpri.)

HANYA 20% dari organisasi di Indonesia yang sepenuhnya siap menerapkan dan memanfaatkan teknologi yang didukung artificial intelligence (AI). Ini menurut AI Readiness Index pertama Cisco yang dirilis, Kamis (16/11). Penelitian yang menyurvei lebih dari 8.000 perusahaan dunia ini dikembangkan sebagai respons terhadap percepatan pengadopsian AI akibat pergantian generasi yang berdampak kepada hampir semua bidang bisnis dan kehidupan sehari-hari. 

Penelitian baru ini menemukan bahwa pengadopsian AI berkembang secara lambat selama puluhan tahun. Namun kemajuan Generative AI, yang tersedia untuk umum pada tahun lalu, mendorong perhatian lebih besar terhadap tantangan, perubahan, dan peluang baru yang dimunculkan oleh teknologi ini. Meskipun 89% responden yakin bahwa AI akan memiliki dampak signifikan terhadap operasional bisnis mereka, AI juga akan menimbulkan masalah baru dalam hal privasi dan keamanan data. Hasil temuan dari Index menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan menghadapi tantangan paling besar dalam pemanfaatan AI bersama dengan data mereka. Bahkan, 76% responden mengakui bahwa hal ini terjadi karena data terkotak-kotak dalam organisasi mereka. 

Namun, ada juga berita positif. Penemuan dari Index mengungkap bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mengambil banyak langkah proaktif untuk bersiap menghadapi masa depan yang terpusat pada AI. Ketika berbicara tentang pengembangan strategi AI, 99% dari organisasi sudah memiliki strategi AI yang kuat atau dalam proses untuk mengembangkan strategi tersebut. Lebih dari dua pertiga (86%) organisasi diklasifikasikan sebagai pacesetter atau chasser (sepenuhnya siap/cukup siap) dan tidak ada yang masuk dalam kategori laggards (tidak siap). Ini mengindikasikan level fokus yang signifikan dari eksekutif di tingkat direksi (C-Suite) dan pemimpin IT. Hal ini mungkin didorong oleh fakta bahwa semua responden menyatakan bahwa urgensi menerapkan teknologi AI dalam organisasi mereka meningkat dalam enam bulan terakhir. Infrastruktur IT dan keamanan siber dilaporkan sebagai bidang yang menjadi prioritas utama untuk penerapan AI. 

Baca juga: Sinar Mas Land Manfaatkan Teknologi AI untuk Manjakan Pengunjung

"Ketika perusahaan bergegas menerapkan solusi-solusi AI, mereka harus menilai lokasi investasi dibutuhkan untuk memastikan infrastruktur mereka bisa mendukung permintaan dari beban kerja AI," kata Liz Centoni, Executive Vice President dan General Manager Applications and Chief Strategy Officer Cisco. "Organisasi juga harus bisa mengobservasi dengan konteks cara AI digunakan untuk memastikan ROI, keamanan, dan terutama tanggung jawab." 

Berikut beberapa dari penemuan yang paling signifikan.

1. Urgensi. 

Sekitar 68% dari responden di Indonesia yakin bahwa mereka memiliki maksimal satu tahun untuk mengimplementasikan strategi AI sebelum organisasi mereka mulai merasakan dampak negatif bisnis yang signifikan. 

Baca juga: Etika Kecerdasan Buatan Kurang Peroleh Perhatian dari Pengusaha

2. Strategi. 

Sekitar 99% organisasi sudah memiliki strategi AI yang sangat jelas atau sedang dalam proses untuk mengembangkan strategi tersebut. Ini merupakan sinyal positif, tetapi menunjukkan ada lebih banyak hal yang harus dilakukan.

3. Infrastruktur.

Sekitar 95% bisnis di dunia sadar bahwa AI akan meningkatkan beban kerja infrastruktur. Namun di Indonesia 47% organisasi menganggap infrastruktur mereka sangat skalabel. Sementara (35%) mengindikasikan bahwa mereka memiliki skalabilitas terbatas atau tidak skalabel sama sekali dalam menjawab tantangan AI baru dalam infrastruktur IT mereka. 

Untuk mengakomodasi permintaan meningkat terhadap daya dan komputasi AI, lebih dari enam dari 10 (65%) perusahaan akan membutuhkan data center graphics processing units (GPU) lebih besar untuk mendukung beban kerja AI saat ini dan di masa datang. 

4. Data.

Organisasi tidak bisa mengabaikan pentingnya memiliki data yang siap AI. Meskipun berfungsi sebagai tulang punggung yang dibutuhkan untuk operasional AI, data juga merupakan area dengan kesiapan paling lemah, yakni memiliki jumlah laggards terbesar (5%) dibandingkan dengan pilar-pilar lain. 

Sebanyak 78% dari semua responden mengklaim sampai batas tertentu data mereka terkotak-kotak (siloed) atau terfragmentasi dalam organisasi mereka. Hal ini memberikan tantangan sangat besar karena kompleksitas integrasi data yang ada di berbagai sumber dan menjadikannya tersedia untuk implikasi AI bisa memberikan dampak pada kemampuan untuk memanfaatkan potensi penuh dari aplikasi ini. 

5. Tenaga kerja.

Kebutuhan akan keterampilan AI menunjukkan ada kesenjangan digital era baru. Dewan direksi dan tim kepemimpinan ialah yang paling mungkin merangkul perubahan yang dibawa oleh AI. Masing-masing sekitar 80% menunjukkan penerimaan yang tinggi atau sedang. Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk melibatkan manajemen tingkat menengah karena 16% memiliki penerimaan yang terbatas atau tidak sama sekali terhadap AI dan di antara karyawan karena hampir sepertiga (31%) organisasi melaporkan bahwa kesediaan karyawan untuk mengadopsi AI terbatas atau bahkan menolaknya. Meskipun 95% responden mengatakan bahwa mereka telah berinvestasi dalam meningkatkan keterampilan karyawan yang ada, hanya sedikit (3%) yang menyinggung kesenjangan AI yang muncul dan mengungkapkan keraguan tentang ketersediaan talenta yang cukup untuk meningkatkan keterampilan.

6. Tata Kelola. 

Awal yang lambat dalam pengadopsian kebijakan AI. Sebanyak 67% dari organisasi melaporkan bahwa mereka tidak memiliki kebijakan AI menyeluruh, area yang harus ditangani saat perusahaan mempertimbangkan dan menentukan semua faktor yang memberikan risiko yang menggerus keyakinan dan kepercayaan. Faktor-faktor ini termasuk privasi data dan kedaulatan data, dan pemahaman dan kepatuhan dengan peraturan dunia. Selain itu, perhatian besar harus diberikan kepada konsep bias, keadilan, dan transparansi baik di data maupun algoritma. 

7. Budaya. 

Pilar ini memiliki jumlah pacesetter terendah (7%) dibandingkan dengan kategori lain yang sebagian besar didorong oleh fakta bahwa 7% perusahaan belum membuat rencana manajemen perubahan dan dari mereka yang telah melakukannya, sekitar 69% masih dalam proses. Eksekutif level direksi ialah yang paling mudah menerima perubahan AI internal dan harus memimpin dalam mengembangkan rencana komprehensif dan mengomunikasikannya dengan jelas kepada manajemen menengah dan karyawan yang memiliki tingkat penerimaan relatif lebih rendah. 

Kabar baiknya ialah ada motivasi yang tinggi. Lebih dari delapan dari 10 (86%) mengatakan bahwa organisasi mereka merangkul AI dengan tingkat urgensi yang sedang hingga tinggi. Hanya 1% yang mengatakan bahwa mereka menolak perubahan. (RO/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat