visitaaponce.com

Etika Kecerdasan Buatan Kurang Peroleh Perhatian dari Pengusaha

Etika Kecerdasan Buatan Kurang Peroleh Perhatian dari Pengusaha
Ilustrasi.(Freepik.)

MESKIPUN terdapat peningkatan kekhawatiran mengenai risiko etika yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), para pemberi kerja kurang memperhatikan isu ini dalam perekrutan. Studi OECD mengatakan itu pada Senin (7/11).

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencari tawaran pekerjaan online untuk posisi AI di 14 negara. Ditemukan bahwa meskipun persentase memasukkan kata kunci yang berkaitan dengan etika telah meningkat tajam dalam empat tahun terakhir, angkanya masih sangat rendah, yaitu rata-rata 0,4% pada 2022.

"Hasilnya menunjukkan bahwa di sebagian besar negara, kurang dari 1% dari seluruh lowongan pekerjaan menyebutkan kata kunci yang terkait dengan etika AI," kata OECD dalam laporan keterampilan kerja tahunannya. 

Baca juga: Inggris, AS, Tiongkok Sepakati Keamanan AI pada Pertemuan Puncak

Di Amerika Serikat pada 2019, hanya 0,1% dari seluruh lowongan pekerjaan online untuk profesional AI yang menyebutkan kata kunci apa pun yang terkait dengan etika dalam AI. Lowongan ini mengharuskan calon pekerja memiliki keterampilan terkait pengembangan dan penggunaan AI dan angka tersebut meningkat menjadi 0,5% pada 2022.

Selandia Baru memiliki hasil tertinggi sebesar 1,6% pada 2022. "Hal ini menunjukkan bahwa meskipun negara-negara punya komitmen kuat dan perusahaan-perusahaan pengembang AI menyatakan niat, etika dalam AI belum diprioritaskan dalam pengambilan keputusan perekrutan," kata laporan tersebut.

Baca juga: Laba Meta Triwulanan Melonjak saat Pasar Iklan Bergejolak

"Pertimbangan-pertimbangan ini harus diprioritaskan."

Peluncuran ChatGPT dan sistem AI generatif lain telah memikat publik dan memberikan gambaran sekilas tentang potensi teknologi tersebut. Sistem baru ini mampu menghasilkan teks, gambar, dan audio dengan cepat dari perintah sederhana dalam bahasa sehari-hari. Namun hal ini juga telah menimbulkan kekhawatiran seputar permasalahan mulai dari kehilangan pekerjaan hingga serangan siber dan kendali yang sebenarnya dimiliki manusia terhadap sistem.

Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menjadi tuan rumah bagi para pemimpin politik dan teknologi pada pertemuan puncak keselamatan AI global yang pertama minggu lalu. Menjelang pertemuan tersebut, negara-negara G7 menyepakati kode etik yang tidak mengikat bagi perusahaan yang mengembangkan sistem AI paling canggih. Namun pemerintah tampaknya berupaya mengejar ketertinggalan dalam hal mengatur teknologi yang berkembang pesat. (AFP/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat