visitaaponce.com

Pengintaian di Balik Perangkat Pintar Rumahan

Pengintaian di Balik Perangkat Pintar Rumahan
(123RF)

ANCAMAN privasi di dalam rumah mungkin menjadi hal yang tidak pernah dibicarakan beberapa dekade terakhir. Namun, seiring perkembangan teknologi, isu privasi di rumah mengemuka.

Kita bisa melihat sekeliling rumah modern yang terdapat perangkat dan peralatan yang dapat dikendalikan dari jarak jauh atau dikenal sebagai smart home devices atau perangkat pintar yang selama dekade terakhir telah menjadi fitur inti dari rumah modern.

Anda kini bisa melihat TV yang bisa diperintah melalui suara untuk menjelajahi berbagai layanan streaming atau kulkas pintar yang dapat mengatur suhu dan memeriksa isinya dari jauh. Kemudian, ada robot penyedot debu, air purifier, atau asisten virtual yang dapat memainkan musik atau meredupkan lampu.

Baca juga : Dua Anak Usaha SIG Dinobatkan Sebagai National Lighthouse Industri 4.0

Namun, seiring dengan teknologi yang mengumpulkan, membagikan, menggabungkan, dan menganalisis data yang dikumpulkan, kenyamanan tersebut harus dibayar mahal, yaitu privasi. Para ahli menyebut bahwa konsumen harus mengetahui seberapa banyak informasi pribadi mereka yang diperdagangkan dan untuk apa informasi tersebut digunakan.

“Saya pikir ini sangat memprihatinkan, terutama karena kita tidak memiliki undang-undang privasi yang mutakhir di Australia, dan dalam hal ini, ini juga merupakan masalah besar secara global,” kata ahli hukum dan privasi data di University of New South Wale Katharine Kemp, dilansir dari The Guardian, Kamis (22/2).

“Kami tidak mengetahui sepenuhnya cara-cara penggunaan informasi tersebut karena kami masih memiliki kebijakan privasi yang sangat luas,” katanya.

Baca juga : Perkuat Transformasi Digital, DTI-CX 2024 bakal Digelar

Kemp mengungkapkan ada beberapa keuntungan yang jelas dari perangkat pintar, termasuk menciptakan rumah yang lebih ramah lingkungan. Namun, menurutnya, bukan itu tujuan utama dari perusahaan-perusahaan yang menjual produk tersebut. “Menurut saya, tujuan utama dari perangkat pintar adalah mengumpulkan lebih banyak informasi dan menjual lebih banyak barang kepada kita. Ada ekosistem teknologi periklanan yang rumit yang memanfaatkan data semacam ini karena menargetkan iklan berdasarkan perilaku dan atribut orang,” katanya.

“Jika Anda berpikir lebih luas tentang siapa yang akan tertarik dengan informasi tentang perilaku pribadi dan atribut kita, kemungkinan besar akan ada perusahaan asuransi atau bahkan dalam beberapa kasus, yaitu pemerintah asing.” 

Hingga saat ini, penelitian tentang perangkat-perangkat pintar di rumah itu berfokus pada risiko eksternal seperti kemungkinan pihak lain untuk mengakses kamera rumah dari internet. Lalu, soal speaker pintar yang rentan terhadap penyadapan. Saat ini penelitian perintis yang lakukan beberapa universitas dan pusat penelitian telah menemukan bahwa di balik ketenangan yang tampak di luar rumah ada banyak risiko yang mengintai.

Baca juga : 20 Seri HP OPPO Terbaru Paling Memukau

“Salah satu masalah terbesar adalah pelanggaran privasi,” kata profesor di Northeastern University, Boston, David Choffnes, dilansir dari El Pais, Kamis (22/2).

“Kelemahan ini memberikan penyerang gambaran yang jelas tentang apa yang ada di rumah Anda, siapa yang ada di sana, serta ke mana mereka bergerak dan kapan. Kami menemukan bahwa beberapa aplikasi memanfaatkan hal ini untuk mengumpulkan data dari rumah-rumah untuk tujuan yang tidak ada hubungannya dengan fungsinya. Jika rumah kita adalah tempat yang paling privat, bagi saya hal ini merupakan pelanggaran privasi yang serius,” tambahnya.

Choffnes dan timnya di Northeastern mendirikan sebuah laboratorium dengan lebih dari 100 perangkat yang dinamai Mon(IoT)r Lab. Di laboratorium tersebut, para peneliti dari universitas dan pusat-pusat penelitian lainnya mempelajari berbagai macam perilaku dan hubungan yang terjadi di antara perangkat-perangkat tersebut, mulai bola lampu dan lemari es hingga router dan speaker yang saling berkomunikasi satu sama lain. Penelitian tersebut juga mempelajari semua hubungan mereka dengan aplikasi, baik yang mengelola perangkat itu maupun aplikasi lain yang dimiliki pengguna Android pada ponsel mereka serta mereka yang tinggal di rumah itu maupun yang mengunjunginya.

Baca juga : Acer Kembali Raih Top Brand Award dan ICSAA 2024

“Saya rasa orang-orang tidak tahu bahwa semua perangkat yang terhubung ke wi-fi berbicara satu sama lain dengan  cara tertentu. Dan hal ini memiliki implikasi,” kata Juan Tapiador, profesor di Universitas Carlos III.

Jenis informasi yang dibagikan oleh perangkat-perangkat itu tidak seperti percakapan atau pesan yang kita kirimkan. Jenis informasi yang mereka bagikan berkisar dari alamat perangkat unik (MAC), nomor seri, versi protokol yang rentan, atau bahkan nama perangkat tertentu.

Semua informasi itu dan layanan yang terhubung dengannya memungkinkan banyak detail kehidupan kita disimpulkan dan dapat memberikan sidik jari digital dari rumah kita, yang memungkinkan serangan atau pengawasan yang ditargetkan.

Baca juga : Mayoritas Peritel Ingin Terapkan Teknologi Reverse Logistics pada 2026

Kepala Kebijakan Digital Rights Watch, Sam Floreani, juga memiliki kekhawatiran yang sama. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa beberapa perangkat pintar tampaknya lebih tidak berbahaya daripada yang lain dengan banyak yang menggunakan data untuk tujuan positif seperti menginformasikan inisiatif kesehatan.

“Tidak ada jaminan bahwa pengumpulan data itu selalu jahat. Ini kembali lagi pada insentif yang mendasarinya dan apakah itu motif keuntungan atau didasarkan pada praktik pengawasan,” katanya.


Kenyamanan atau privasi

Baca juga : Tronsmart Ramaikan Pasar Audio Portabel di Indonesia, Ini Jajaran Produknya

Bagi sebagian orang, pengorbanan dalam hal privasi telah sepadan, terutama jika hal itu meningkatkan aksesibilitas. “Ketika saya menyalakan AC, saya harus bertanya kepada seseorang untuk mengaturnya, namun ada sejumlah orang yang membeli AC pintar yang terhubung dengan benda-benda ini dan mengatakan ‘nyalakan AC saya hingga 22 derajat’,” kata Kepala Vision Australia Chris Edwards.

Vision Australia menemukan bahwa perangkat tersebut telah memainkan peran penting, terutama bagi komunitas tunanetra. Edwards mengatakan tunanetra yang suka memasak, tetapi dengan hilangnya penglihatan mereka, tidak bisa membaca resep.

“Mereka belajar bagaimana cara menanyakan resep kepada Alexa dan itu memberi mereka informasi tersebut, tetapi juga kepercayaan diri untuk bisa memasak serta membaca buku melalui Alexa.”

Baca juga : Digiserve Bidik Pasar Managed Network & Security Service

Meski begitu, dia tidak berpikir bahwa kenyamanan harus mengorbankan privasi. “Saya rasa salah satu tantangannya, seperti halnya banyak hal lainnya, adalah tidak banyak orang yang membaca kebijakan privasi yang terhubung dengan perangkat ini,” katanya.

Pakar keamanan siber Vaksincom Alfons Tanujaya mengungkapkan era big data membuat konsumen tidak bisa menghindari adanya ancaman privasi. Ia mengatakan praktik eksploitasi data pengguna layanan digital sebenarnya sudah menjadi model bisnis banyak perusahaan.

“Sebagai contoh, ponsel China yang bisa dijual dengan harga murah dan bahkan terkadang di bawah harga modal hardware-nya. Hal ini disebabkan pembuat ponsel memperhitungkan keuntungan yang didapatkan dari mengolah data pengguna ponselnya,” kata Alfons, ketika dihubungi, Kamis (22/2).

Baca juga : OttoDigital-Primacom Perkuat Ekosistem Digital di Pesantren

“Jadi, ponselnya dijual di bawah harga modalnya dan nantinya kerugian dari penjualan hardware ini akan ditutup dengan keuntungan mengolah data pengguna. Baik mengolah dan menggunakannya atau menjual kepada pihak ketiga yang membutuhkan dan berani membayar mahal,” katanya.

Alfons mengungkapkan ancaman privasi juga terjadi pada perangkat pintar lain atau internet of things (IoT). Ia mengimbau ketika membeli IoT, masyarakat harus hati-hati dan memperhatikan siapa yang menjual perangkat itu. “Umumnya merek yang cukup ternama masih cukup menjaga etika dalam mengolah big data penggunanya dan tidak mengeksploitasi berlebihan. Contohnya, kalau beli ponsel dari ponsel ternama, (seperti) Samsung, iPhone, atau merek ponsel yang tepercaya,” katanya.

“Kalau beli lampu pintar, pastikan perusahaannya mematuhi aturan penggunaan data. Merek besar seperti Philips, Bardi, atau Tuya mungkin bisa jadi pertimbangan dan jangan membeli dari merek yang tidak jelas karena selain kualitas barang, pengolahan big data penggunanya rentan dieksploitasi,” pungkasnya. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat