visitaaponce.com

Kenalkan Aceh Singkil melalui Canang Kayu

Kenalkan Aceh Singkil melalui Canang Kayu
Canang Kayu(.)

MUSIK etnik telah banyak dimainkan musisi di Indonesia yang tentunya berasal dari berbagai daerah, contohnya sasando yang merupakan alat musik yang berasal dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Alat musik petik ini dikatakan memiliki kemiripan dengan harpa. Namun, kali ini, bukan sasando yang akan dibahas, melainkan canang.

Canang atau biasa disebut intrumen musik canang kayu, merupakan instrumen musik tradisional yang biasa dimainkan warga Aceh Singkil terutama saat meng­iringi pertunjukan tari tradisional pada acara-acara perayaan dan upacara adat. Instrumen musik canang kayu sendiri saat ini sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda secara nasional pada 2017.

Instrumen musik canang kayu saat ini sedang gencar disuarakan grup musik Destanada II yang merupakan warga asli Aceh Singkil. Membudayakan dan melestarikan, mungkin inilah kata yang patut diapresiasi terkait dengan betapa semangatnya para anak muda ini untuk terus berkarya melalui musik etnik khas daerahnya. Ditemui dalam acara Festival Budaya Aceh Singkil, di Grand Sahid Jaya, Jakarta (25/11/2018), Rafliansyah selaku ketua dari Desta­nada II membagikan mengenai instrumen musik canang kayu ini.

“Di tahun 2017 kemarin, instrumen musik canang kayu dipatenkan sebagai warisan budaya tak benda. Alat musik ini akan dihilangkan kembali jika tidak ada eksistensinya di masyarakat. Jadi, sayang sekali jika ini tidak kami pakai atau kami gunakan. Lagi pula, instrumen musik canang kayu ini kan sudah dipakai dari dahulu kala. Saat ini, kami kolaborasikan canang ini dengan alat musik dari Aceh juga, seperti lapari, serune, seruling, kemudian ada gong juga.” ungkapnya

Rafli mengungkapkan, pada awalnya musik canang kayu ini digunakan hanya sebagai alat musik untuk pelipur lara bagi para petani. Canang pada zaman dahulu hanya berupa 3 sampai 4 potongan kayu yang dimainkan dengan cara dipukul dan rupanya canang biasa dimainkan ketika ada acara pesta dan lainnya, hal ini pun sudah menjadi sebuah alat tradisi bagi masyarakat Aceh Singkil.

Canang terbuat dari kayu pilihan yang berasal dari pohon cuping dan kayu tarok. Dalam bahasa Aceh Singkil, kayu ini dinamakan kayu trep.

Kayu ini dicari yang berdiameter 2-3 m, lalu ditebang dan dipotong sepanjang kurang lebih 40 sentimeter. Kayu tersebut lalu dibelah dua, kemudian untuk mendapatkan nada yang harmonis, kayu tersebut dipilah-pilah dengan sangat teliti.

Untuk memukul canang kayu ini, dibuatlah alat pemukul yang berasal dari benda yang lebih keras seperti batang jambu dan lainnya. Canang kayu kemudian dimainkan dengan cara menokok balok-balok tersebut secara bergantian sehingga akan menciptakan suara kayu yang saling beradu dan menciptakan sebuah suara merdu.

Cara memainkan canang kayu ini juga terdapat dua cara. Pertama, canang ini disusun di atas kotak kayu kemudian dimainkan. Kedua, ialah menjajarkan canang di atas dua kaki yang diselonjorkan.

Cara yang biasa dilakukan para petani dan orang-orang zaman dahulu ialah cara kedua, yaitu mereka menjajarkan canang tersebut secara berurutan di atas dua kaki. Biasanya, irama canang akan menjadi ramai dan merdu jika diiringi pula dengan tabuh­an gendang dan talam.

Selain hal tersebut, penggunaan canang kayu juga bisa digabungkan dengan tarian khas daerah Aceh Singkil.

Canang kayu sendiri, memang pada zaman dahulu hanya memiliki 3 nada dan untuk saat ini grup musik etnik Destanada II telah memodifikasi alat tersebut sehingga memiliki 8 nada. Selain itu, canang kayu yang dimainkan Destanada II juga mengolaborasikan alat musik modern di dalamnya selain tradisional, seperti gitar, bas, dan lainnya.


Modifikasi

Rafli juga menyatakan untuk modifikasi canang kayu, hanya Destanada yang melakukan hal ini dan tentunya mereka pun telah meminta izin terlebih dahulu kepada tetua Aceh Singkil.

“Kami tentunya melihat bahwa seiring dengan perkembangan zaman, canang kayu juga harus dimodifikasi agar sesuai dengan nada saat ini. Tentu saja para tetua kami pun sangat setuju dengan hal ini karena kita bisa memperkenalkan canang kayu kepada orang-orang di luar sana,” lanjut Rafli selaku ketua Destanada II.

Modifikasi yang dilakukan Destanada II, tak sepenuhnya meninggalkan sebuah tradisi musik etnik yang sedari dulu dilakukan. Dengan modifikasi yang mereka lakukan, nyatanya saat ini banyak prestasi yang mereka raih dengan memainkan canang kayu khas daerah Aceh Singkil, seperti Juara 1 Lomba Garapan Musik Tradisi PKA 7 (10/8/2018), dan juga tampil pada perhelatan Asian Games 2018, serta masih banyak lagi.

Saat ini, Destanada pun telah membuat minialbum dengan penggunaan modifikasi canang kayu mereka dan minialbum yang berisikan 6 lagu tersebut merupakan lagu dengan bahasa Aceh Singkil. Mereka meng­akui ingin terus membudidayakan tradisi Aceh Singkil dan dengan penggunaan bahasa Aceh Singkil ini, mereka ingin masyarakat Aceh Singkil memiliki kebanggaan akan budaya dan bahasa Aceh Singkil.

Usaha yang mereka lakukan juga tak sia-sia karena saat ini banyak para pemuda dari Aceh Singkil ingin ikut bergabung dengan Destanada II. Hal ini menunjukkan bahwa mereka dapat mengajak para pemuda untuk ikut membudidayakan dan mengembangkan Canang Kayu melalui Destanada II.

“Kami ingin, Aceh Singkil lebih dikenal lagi baik dari canang kayu maupun tariannya. Karena dengan adanya kebanggaan akan budaya sendiri, menurut saya ini menunjukkan bahwa kita berhasil membuat hasil jerih payah nenek moyang kita menjadi terlaksana dengan ikut mengembangkan dan melestarikan hasil warisan mereka,” tutup Rafli. (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat