visitaaponce.com

Batik Oey Soe Tjoen Melintas Zaman

Batik Oey Soe Tjoen Melintas Zaman
Widianti Widjaja, generasi ketiga Oey Soe Tjoen.(MI/Fathurrozak)

SEORANG perempuan membentangkan sebuah kain berwarna-warni pastel. Dengan motif burung merak dan dipenuhi gambaran bunga-bunga. Di salah satu sudut, tertulis nama Oey Soe Tjoen, Kedungwuni. Batik itu adalah batik Oey Soe Tjoen yang diproduksi Widianti Widjaja, generasi ketiga Oey Soe Tjoen. Kain yang dibentangkan Widianti, dibuat dalam kurun tiga tahun.

Widianti adalah generasi ketiga batik peranakan Pekalongan Oey Soe Tjoen. Ia memulai terjun meneruskan usaha kakek dan ayahnya itu sejak 2002. Saat sang ayah wafat. Hingga kini, ia bekerja bersama ke-12 pembatik yang sudah ikut membatik saat ayahnya masih hidup.

Widianti menjelaskan, alasan pengerjaan satu kain bisa memakan waktu hingga setidaknya tiga tahun adalah karena tiap pembatik mengerjakan sesuai spesialisasi mereka.

Baca juga: Kualitas Alat Tidur Ikut Hasilkan Tidur yang Nyenyak

“Jadi yang bikin motif bunga ya khusus. Nanti untuk mengerjakan motif lainnya di satu kain itu, akan menunggu dari pembatik lain yang sudah beres,” kata Widianti dalam gelar wicara yang menjadi rangkaian Lunar New Year Show Hotel Borobudur Jakarta, Jumat, (21/1).

Ditemui di Pendopo Lounge & Terrace Hotel Borobudur Jakarta, pemerhati dan edukator batik Dave Tjoa, mengatakan kebanyakan batik peranakan tionghoa memang memiliki warna berani seperti pastel dan motif yang lebih cenderung lekat dengan nuansa bunga.

“Kalau lihat batik peranakan, itu lebih detail pengerjaannya. Secara warna juga lebih cerah. Terutama pada batik peranakan Pekalongan. Warnanya lebih berani bila dibandingkan dengan warna batik di kalangan keraton yang cenderung menggunakan warna cokelat tua.”

Pada mulanya, Oey Soe Tjoen memasarkan kain batiknya dengan cara berkeliling ke para saudagar di Kudus, Magelang, dan Ambarawa menggunakan pikulan. Ia akan datang ke salah satu rumah saudagar, lalu para kerabat saudagar akan datang ke rumahnya untuk ikut melihat-lihat dan membeli. Namun, kini justru para pembeli yang datang ke rumah Widianti di Kedungwuni, sekitar 13 kilometer dari Kota Pekalongan. Mereka yang akan memesan, biasanya harus catat nama. Paling kecil, satu kain dihargai Rp20 juta. Tapi, setelah mencatat nama, para pembeli tidak bisa segera mendapat kain batik Oey Soe Tjoen. Widianti biasanya akan mengabari mereka jika sudah akan masuk proses pengerjaan.

“Dari pertama saya katakan ke mereka, pengerjaannya tanpa ikatan waktu. Mereka tidak tinggalkan uang muka. Tidak jadi beli juga tidak masalah,” kata Widianti yang mengatakan dalam setahun cuma mengerjakan total 20 kain.

Widianti, yang mulanya terjun ke batik lebih pada keterpaksaan karena harus menyelesaikan batik yang sudah setengah jalan dan harus diselesaikan setelah orangtuanya meninggal, kini dirinya menjadi penerus batik peranakan Pekalongan Oey Soe Tjoen.

“Sekarang saya lebih ke arah mengikuti batik ini menjadi bakti saya pada orangtua. Sepanjang saya bisa meneruskannya ya akan terus meneruskannya.” (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat