visitaaponce.com

Taiko, Tradisi Gendang Jepang yang masih Bergema di Era Kiwari

Taiko, Tradisi Gendang Jepang yang masih Bergema di Era Kiwari
Pertunjukan Taiko di Pulau Sado, pada 7 Mei 2022(Charly TRIBALLEAU / AFP)

Di sebuah aula di Pulau Sado, Jepang, Yoshikazu Fujimoto sedang memukul alat musik mirip bedug yang dipasang di depannya. Suara yang dihasilkan benda itu pun bergema di sekitar area tersebut. Fujimoto adalah pemain veteran penabuh gendang taiko Jepang, sebuah bentuk musik yang berakar pada ritual keagamaan, teater tradisional, dan perayaan festival musiman yang disebut matsuri.

Tetapi, telepas dari silsilah sejarahnya, taiko sebagai pertunjukan panggung adalah penemuan yang cukup modern. Seni ini dikembangkan oleh seorang musisi jazz dan dipopulerkan sebagian oleh salah satu grup paling terkenal di Jepang: Kodo di pulau Sado. Fujimoto yang kini berusia 71 tahun adalah yang tertua dari 37 musisi yang membentuk grup. Mereka merekrut anggotanya melalui program pelatihan dua tahun yang ketat.

Kelompok kesenian ini didirikan di antaranya untuk menarik orang ke Sado, di lepas pantai barat Jepang. Kesenian ini kadang juga dipakai sebagai medium menyebarkan kitab taiko. "Taiko itu sendiri seperti doa," kata Fujimoto, yang datang ke Sado pada 1972 untuk bergabung dengan grup yang berkembang menjadi Kodo. "Dulu dikatakan bahwa daerah yang dijangkau bunyi gendang itu merupakan satu komunitas," katanya. "Melalui taiko... Saya ingin menjadi bagian dari komunitas dengan penonton dan mengirimkan pesan hidup bersama, pesan kasih sayang."

Kesenian ini telah menjadi bagian dari kehidupan Fujimoto, yang merupakan pemain spesialis o-daiko, sebuah bedug besar yang dipasang pada sebuah penyangga yang dipukul oleh seorang musisi yang berdiri dengan punggung menghadap penonton. Efeknya adalah getaran suara memasuki tulang rusuk yang melewati celah-celahnya "Saya menjadi satu dengan suara," katanya. "Bermain taiko membuatku merasa hidup."

Pertunjukan Kodo berkisar dari kekuatan suram solo o-daiko hingga karya ansambel yang menampilkan seruling dan nyanyian, dan bahkan sesekali selingan drama yang mendorong partisipasi penonton. Taiko berarti gendang dalam bahasa Jepang, dan pemainnya menggunakan dua jenis alat musik utama. Yang pertama dibuat dari batang pohon tunggal yang berlubang dengan sapi atau kulit kuda yang dipaku di setiap ujungnya. Sedangkan yang kedua adalah kulit yang direntangkan di atas lingkaran yang diikat dengan tali ke badan kayu.

Alat musik tradisional ini telah menjadi bagian dari ritual dan seni teater seperti noh dan kabuki di Jepang selama berabad-abad. Tetapi bermain gendang dalam konteks itu sering kali merupakan praktik yang khidmat, sementara pertunjukan taiko modern lebih dekat dengan festival rakyat di mana rombongan yang sering terdiri dari penduduk setempat bermain di jalan atau ladang untuk menyatukan komunitas, mengusir pengaruh jahat, atau berdoa untuk menyambut panen.

"Taiko gendang kontemporer mengambil banyak inspirasi dari festival lokal dan dikombinasikan dengan seni pertunjukan tradisional yang lebih formal untuk berkembang menjadi apa yang kita lihat sebagai gendang taiko hari ini," jelas Yoshihiko Miyamoto, yang perusahaannya Miyamoto Unosuke telah membuat taiko selama lebih dari 160 tahun.

Kunci dari evolusi itu adalah seorag drummer jazz Daihachi Oguchi, yang memindahkan festival taiko ke panggung pertunjukan pada 1950-an dan 60-an. Kemudian pada 1969, musisi Den Tagayasu pindah ke Sado untuk mendirikan kelompok taiko yang diharapkannya akan menarik kaum muda ke pulau itu dan merevitalisasinya.

Menembus jiwa

Fujimoto meninggalkan kota asalnya Kyoto untuk bergabung dengan kelompok yang dikenal sebagai Ondekoza, dan ketika mereka berpisah, dia tinggal dan membantu menemukan Kodo. Di komunitasnya sekarang  ini melibatkan program pelatihan dua tahun yang sulit, di mana peserta magang berusia 18-25 tahun tinggal di asrama, tanpa telepon atau televisi. “Harinya dimulai jam 5 pagi, ketika kami bangun dan langsung keluar untuk melakukan peregangan. Kemudian kami mulai membersihkan dan memoles lantai,” kata Hana Ogawa, 20 tahun yang menyelesaikan program magang tahun ini. Ogawa bukan satu-satunya pemuda di zaman kiwari (modern/kekinian) yang tertarik pada kesenian tradisional tersebut. Ada banyak pemuda seusianya yang berlatih di sana.

Setelah bersih-bersih, para peserta berlari dan kemudian menghabiskan sepanjang hari berlatih, dengan istirahat hanya untuk makan. Mereka memiliki satu hari libur dalam seminggu. Mungkin tidak untuk semua orang, tetapi Ogawa, yang memutuskan untuk bergabung dengan Kodo setelah melihat mereka tampil di sekolah menengah, tidak menyesal. "Saya bahagia setiap hari, karena saya mencintai taiko dan saya mengejar satu tujuan ini dan mencapainya, jadi ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan," katanya kepada AFP.

Permainan gendang Taiko semakin populer di dalam dan luar negeri dalam beberapa tahun terakhir. Mereka juga mendidirikan kelompok di Eropa dan Amerika Serikat. Imbasnya, permintaan alat musik ini dari luar negeri  meningkat, terutama produksi dari toko Miyamoto.

"Taiko memiliki kekuatan untuk menghubungkan orang dengan suarnya. Terutama di zaman kontemporer ini, Anda mendengar suara mesin di mana-mana, tetapi taiko yang menggunakan kulit mentah dan kerangkanya yang dibuat dari kayu, seperti suara alam, sangat organik. Saya pikir itulah salah satu alasan mengapa ia datang langsung menusuk jiwa Anda." (M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat