visitaaponce.com

Batagak Gala, Prosesi Rajut Budaya yang Nyaris Terlupa di Minangkabau

Batagak Gala, Prosesi Rajut Budaya yang Nyaris Terlupa di Minangkabau
Salah satu bagian dari upacara adat Batagak Gala(MI/Yose Hendra)

 

Angin berpiuh di lembah Gunung Talang, bersilir-silir dengan lembut di Jorong Batukijang, Nagari Dilam, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Sabtu (24/12). Di saat bersamaan silang kata bermakna, mendedahkan pepatah-petitih oleh para tetua adat saling bersahut dengan nyaring di rumah milik anggota Suku Panai Linjuang.

Udara dingin yang menembus suhu 170 C tak mengurungkan langkah para tetua adat untuk menghadiri prosesi Batagak Gala, sebuah prosesi adat yang kini mulai sayup terdengar di ruang publik.

Batagak Gala yang dilakukan pekan lalu, merupakan rangkaian kegiatan pengukuhan penghulu Suku Panai Linjuang. Sembari duduk bersila mengelilingi seluruh sudut rumah, anggota suku dengan khidmat mengikuti prosesi pengukuhan penghulu secara adat. Dalam skala nasional, proses ini adalah bagian dari warisan yang telah masuk ke tahap pencatatan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.

Berbalas pantun, memadu pepatah adat, hingga penyampaian falsafah adat menjadi bagian tak terpisahkan dalam acara Batagak Gala. Hembusan angin malam yang kian terasa menusuk seakan menjadi bahan bakar bagi tetua adat untuk kian bersemangat berbalas pantun.

Dalam tradisi Minangkabau, jelas pemerhati adat dan budaya Minangkabau Ahmad Kusasi, kegiatan ini merupakan bagian dari pasambahan Batagak Pangulu, yakni penghormatan yang diberikan kepada tetua, petinggi adat, dan seluruh anggota suku dan tamu undangan yang telah hadir pada acara pengukuhan petinggi suku.

Di sela kegiatan, warisan tradisi makan bajamba tak lupa disuguhkan. Aroma makanan turut menggugah semangat para tetua adat. Aroma ini mengingatkan pada keelokan warisan leluhur tentang kebersamaan dalam memadu mufakat melalui musyawarah. "Momen ini terbilang istimewa karena para tetua adat duduk membaur dengan anggota suku," ujar Kusasi.

Melalui makan bajamba, Suku Panai Linjuang mencoba mewarisi pesan tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara pelaksanaan kewajiban dan pemberian hak. Ibarat pepatah Minang, “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Baik petinggi adat maupun anggota suku memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilaksanakan secara bersama.
 

Tak hanya itu, Makan Bajamba juga merepresentasikan semangat kebersamaan yang harus dijaga oleh anggota suku. Menurut Kusasi, dalam hal ini apapun persoalan yang dihadapi, musyawarah untuk mufakat mesti dikedepankan, seperti pesan yang tersemat dalam pepatah Minang, “memancung putus, memotong habis”.

"Artinya, setiap persoalan tidak dapat diselesaikan bermodal egoisme atau kepentingan orang tertentu, melainkan melalui proses urun rembuk bersama anggota suku," kata Kusasi yang juga anggota suku tersebut.

Usai bersantap malam, tibalah acara yang dinanti; malewakan gala. Inilah puncak giat adat yang telah lama dipersiapkan oleh Suku Panai Linjuang. Malewakan gala adalah akad yang mengukuhkan seorang penghulu di hadapan tetua adat dan anggota suku.

Pengurus adat

Setelah menanti empat jam, pada Minggu dini hari, Suku Panai Linjuang secara adat resmi memiliki pimpinan suku. Melalui pemasangan saluak oleh perwakilan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), penghulu Suku Panai Linjuang resmi dikukuhkan. Indra Jaya Datuak Rajo Bonsu diberikan amanah oleh anggota suku untuk memimpin anak dan kemenakan dalam mengarungi kehidupan sosial.

Pada prosesi adat ini, dikukuhkan pula para pembantu penghulu dalam melaksanakan tugas kepemimpinan adat. Bersama malin, manti, dan dubalang, atau yang disebut sebagai ampek jinih, penghulu bahu-membahu menjalankan tugas adat selaku pimpinan suku sebagaimana yang tertuang pada pepatah Minang, penghulu taguah di adat, manti taguah di buek, malin taguah diugamo, dubalang taguah di nagari (penghulu teguh pada adat, manti teguh dengan undang-undang, malin teguh di bidang agama, dubalang teguh dalam nagari).

Malin adalah pembantu penghulu dalam bidang agama. Membimbing anggota suku sesuai aturan agama Islam merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang malin. Suku Panai Linjuang memberikan amanah ini kepada Ajimar Malin Barajo.

Amanah yang sama juga diemban oleh Saiful Wardi Bagindo Basa sebagai manti. Ibarat sekretaris, manti mengusung tugas untuk mengurus administrasi dan memiliki kewajiban untuk mengatur upacara adat di dalam kaum.

"Nama besar suku dalam tatanan laksana kegiatan adat berada di bawah kendali manti," bilang Kusasi, yang bekerja pada Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatra Barat.

Pada bidang keamanan, tugas untuk menjaga keselamatan diemban oleh Kaharudin Ampang Basa. Dipercaya sebagai dubalang, keselamatan dan ketentraman kaum di dalam nagari menjadi tanggung jawab besar yang diemban. Kaum atau anggota suku harus terlindung dari segala potensi ancaman, baik fisik maupun nonfisik.

Selain ampek jinih, prosesi adat ini juga turut mengukuhkan Yofial Datuak Rajo di Rajo sebagai Penghulu Andiko. Berbeda dengan Lareh Koto Piliang yang memposisikan Penghulu Andiko sebagai sebagai penghulu yang dituakan, pada laras Bodi Caniago yang dianut oleh Suku Panai Linjuang, semua penghulu memiliki kedudukan yang sama.

Tepat pukul 00.47 WIB, saat hari berganti, acara Batagak Gala usai dilaksanakan. Satu-dua kata selamat bergilir diucapkan. Rasa bahagia menyeruak di antara anggota suku yang masih setia hadir hingga larut menjelang. Kebersamaan menyibak rasa kantuk dan hawa dingin yang kian terasa. Sejak malam itu, resmi sudah pengukuhan pimpinan adat Suku Panai Linjuang.

Istimewa

Proses pengukuhan penghulu yang dilakukan oleh Suku Panai Linjuang terbilang istimewa. Menurut Kusasi, setidaknya ada tiga indikator yang dapat menegaskan keistimewaan acara Batagak Pangulu ini. Ketiga indikator ini saling bertaut dalam proses pengukuhan penghulu yang pada akhirnya membentuk wajah suku.

Pertama, Batagak Pangulu adalah hal pertama yang dilakukan oleh Suku Panai Linjuang. Pasalnya, suku ini adalah pemekaran dari Suku Panai. Saat memutuskan diri untuk mekar, anggota suku bermufakat untuk membentuk sebuah suku baru yang tidak terafiliasi dengan Suku Panai.

Menurut Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kabupaten Solok Gusmal Datuak Rajo Lelo yang hadir dalam acara tasyakuran Batagak Pangulu Suku Panai Linjuang pada Minggu (25/12), pemekaran suku adalah hal yang lumrah dilakukan saat jumlah anggota suku kian bertambah banyak. Agar penghulu lebih fokus dalam memangku amanah sebagai pimpinan suku, pemekaran suku menjadi solusi.

Pada medio awal abad ke-20, pemekaran suku sempat dilarang oleh pemerintah kolonial karena dianggap mempersulit ekspansi kebijakan politik ke akar rumput. Dampaknya, perkembangan sejarah adat di Minangkabau sempat terputus. Jumlah suku mengalami stagnasi.

Di sisi lain, penghulu suku kian sulit mengendalikan anggota suku atau kaum karena jumlah yang kian bertambah. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk merambah sisi intelektualitas adat demi memuluskan kebijakan yang telah disusun untuk menduduki Sumatera Barat dari berbagai sisi.

Walakin, kini, dalam kaca mata sejarah modern, pemekaran suku semestinya menjadi hal yang lumrah dilakukan. Kebangkitan ekonomi, ekspansi sosial, hingga faktor demografi menjadi aspek yang layak dipertimbangkan untuk memekarkan suku. Jumlah penduduk yang kian padat dapat bergerak linier dengan pertumbuhan jumlah suku, tentunya dengan akar mufakat. Pemahaman inilah yang melatarbelakangi terbentuknya Suku Panai Linjuang.

Pada satu sisi, istilah pemekaran dapat disematkan pada proses terbentuknya Suku Panai Linjuang. Namun, menilik dari kaca mata adat, terdapat dua kategori yang mesti dibedakan terkait pemekaran suku. Pertama, pemekaran suku dapat dilakukan dengan tetap terafiliasi dengan suku induk. Dalam adat Minangkabau, proses ini disebut sebagai Babalah Siba Baju.

Kedua, pemekaran suku dapat dilakukan dengan menetapkan penghulu baru karena keinginan untuk memisahkan diri dari penghulu suku sebelumnya. Dalam prosesi ini, suku yang mekar tidak lagi terafiliasi dengan suku sebelumnya. Artinya, suku induk tidak dikenal dalam proses yang dikenal sebagai Gadang Manyimpang.

Pemekaran suku yang dilakukan oleh anggota Suku Panai Linjuang adalah bagian dari prosesi Gadang Manyimpang. Anggota suku telah berputus kata untuk membentuk sebuah suku baru yang tidak lagi terafiliasi pada Suku Panai. Kondisi ini amat jarang ditemui, atau bahkan nyaris alpa dalam ruang tradisi adat Minangkabau periode modern.

Fakta inilah yang membuat prosesi Batagak Pangulu Suku Panai Linjuang terbilang istimewa. Prosesi adat tidak menggaungkan konsep suksesi atau pergantian penghulu, melainkan mengusung pucuk kendali suku yang sama sekali baru. Keputusan ini diambil saat tradisi memekarkan suku nyaris terlupa di ruang publik.

Ada banyak faktor sosial yang menyebabkan sebuah suku memekarkan diri. Selain jumlah anggota suku yang terus bertambah, rasa ketidakpuasan pada tokoh adat dalam suku juga turut mendorong lahirnya gerakan sosial yang bermuara pada pembentukan suku baru.

Faktor-faktor ini tumbuh dalam kesadaran anggota suku secara perlahan, membesar, lalu bermuara pada kesepakatan kolektif untuk memisahkan diri menjadi satu kesatuan demi kebaikan bersama. Kondisi inilah yang juga dirasakan oleh sebagian anggota Suku Panai dalam proses panjang pengambilan kata mufakat untuk membentuk suku baru.

Menurut Bundo Kanduang Suku Panai Linjuang Desneyeti M,  yang juga menjabat sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung, penggunaan nama Suku Panai Linjuang bukannya tanpa alasan. Kata Panai digunakan untuk mempertegas identitas suku yang telah dibawa oleh leluhur terdahulu. Sementara kata linjuang dalam tambo dapat diartikan sebagai pagar.
Penggunaan kata ini sekaligus menjadi pengharapan bahwa suku ini dapat menjadi pelindung seperti pagar bagi anak, kemenakan, hingga nagari.

Selain itu, kata linjuang juga telah jamak dikenal oleh masyarakat di Kota dan Kabupaten Solok yang merujuk pada sebuah lokasi di sekitar kaki Gunung Talang bernama Linjuang Koto Tinggi. Pada lokasi inilah terdapat makam leluhur warga sekitar Solok yang di dalam tambo disebut sebagai Kubuang Tigo Baleh. Artinya, linjuang merupakan kata yang memiliki nilai penting dalam warisan sejarah Minangkabau, khususnya di wilayah Solok.
Inilah yang melatarbelakangi pemilihan kata linjuang sebagai nama suku nan sarat makna.

Selain proses berbalut tradisi adat, sebagai wujud rasa syukur, kegiatan Batagak Pangulu Suku Panai Linjuang juga melibatkan warga sekitar dalam pengobatan gratis. Sebanyak 86 orang warga sekitar turut memanfaatkan fasilitas pengobatan yang diberikan. Jumlah ini belum termasuk anggota keluarga dalam suku yang terlibat. Kegiatan ini sekaligus mendekatkan masyarakat sekitar dengan tenaga medis untuk menjaring keluhan kesehatan
warga.

Usai penyembelihan kerbau dilakukan, penghulu dikukuhkan, dan tradisi adat dijalankan, keistimewaan Batagak Pangulu ini juga terlihat dari pengakuan secara kelembagaan. Pengakuan terlihat dengan gamblang saat kegiatan tasyakuran yang dilakukan pada Minggu (25/12).

Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara, baik pusat maupun daerah seperti Ketua MA Syarifuddin, Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro, dan Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Sunarto, yang menjadi tamu kehormatan yang hadir dalam prosesi ini. Juga pejabat teras di lingkungan pemerintah daerah seperti Bupati Solok Epyardi Asdam, M.Mar; Wali Kota Solok Zul Elfian, dan Ketua DPRD Kabupaten Solok Dodi Hendra. (M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat