visitaaponce.com

Jejak Panjang Nano Riantiarno di Dunia Teater

Jejak Panjang Nano Riantiarno di Dunia Teater
Dramawan Indonesia, Nano Riantiarno, tutup usia pada 20 Januari 2023.(MI/ Ramdani)

BERPULANGNYA Nano Riantiarno pada Jumat (20/1), membawa duka yang luas pada dunia teater dan hiburan Tanah Air. Dramawan yang tutup usia di 73 tahun ini membuat banyak sumbangsih, terlebih lewat Teater Koma yang ia dirikan pada 1977.

 

Pria kelahiran Cirebon ini sukses menjadikan Teater Koma sebagai salah satu kelompok teater tersukses dan terproduktif di Indonesia. Tahun lalu pun Nano masih terus menghasilkan karya, di mana Roro Jonggrang menjadi lakon terakhir yang ia sutradari (Oktober 2022).

 

Sebelum pandemi, dalam setahun setidaknya mereka bisa menggarap dua kali pentas. Dan selalu ramai penonton. Mulai dari naskah adaptasi hingga naskah asli, dipentaskan Koma bersama para aktor mereka.

 

Sebelum mendirikan Koma, Nano lebih dulu bergabung dengan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer saat ia masih berkuliah di ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia). Ia memang sudah mengenal teater sejak SMA di Cirebon. Di Teater Kecil, ia bertemu dengan lawan mainnya di panggung sekaligus pendamping hidupnya, Ratna Riantiarno.

 

Tidak lama berkarya di Teater Kecil, Nano lalu bergabung dengan Teater Populer yang merupakan bentukan sutradara legendaris, Teguh Karya. Selanjutnya bersama Slamet Rahardjo, Nano mendirikan Teater Koma.

 

Sekira 80 lebih judul lakon telah dipentaskan Nano lewat Teater Koma. Beberapa lakon populer Koma di antaranya adalah Sampek Engtay, Semar Gugat, Opera Kecoa, dan Opera Julini. Di samping memproduksi pentas-pentas dari cerita baru, judul-judul itu kerap dipentaskan ulang bahkan dalam waktu kini. Sampek Engtay terakhir dipentaskan pada Maret 2022 di Ciputra Artpreneur.

 

Nano cukup solid dalam mengomandoi Koma. Ia bertindak sebagai penulis, aktor, dan sutradara. Ketika usianya tak lagi muda, ia hanya bertindak sebagai sutradara dan penulis, hingga mengorbitkan anak pertamanya, Rangga Buana yang muncul di atas panggung.

 

Teater Koma juga mampu sintas dari masa-masa ketika ekspresi seni dibatasi oleh negara pada rezim pemerintahan orde baru. Ketika itu, Koma sempat dilarang mementaskan lakon Maaf.Maaf.Maaf. pada 1978, Sampek Engtay pada 1989 di Medan, Suksesi dan Opera Kecoa pada 1990 di Jakarta.

 

Nano banyak mendapat penghargaan dari karya-karya skenarionya. Ia secara empat kali berturut-turut meraih hadiah sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1972-1974. Dan sekali lagi pada 1998.

 

Selain menulis untuk lakon panggung, ia juga sering menulis naskah untuk film dan televisi. Skenarionya untuk serial Kupu-kupu Ungu mendapat penghargaan penulis skenario terpuji dari Forum Film Bandung pada 1999. Ia juga mendapatkan piala citra FFI 1978 untuk skenario terbaik lewat film Jakarta Jakarta.

 

Di film, Nano juga beberapa kali berperan. Seperti di film Bidadari Mencari Sayap (2020), Ponirah Terpidana (1983), Jangan Ambil Nyawaku (1981) Putri Seorang Jendral (1981), Surat Undangan (1975), Cinta Pertama (1973), dan Wadjah Seorang Laki-Laki (1971).

 

Beberapa naskah film yang ditulisnya adalah Kawin Lari (1974), Ranjang Pengantin (1974), Surat Undangan (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Dorce Ketemu Jodoh (1990), Cemeng 2005 (The Last Primadona) (1995) yang sekaligus disutradarainya, dan Mengejar Embun ke Eropa (2016). Peraih SEA Write Award dari Raja Thailand pada 1998 ini juga pernah menulis skenario untuk salah satu judul film Warkop DKI, Sama Juga Bohong (1986). (M-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Bintang Krisanti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat