visitaaponce.com

Warisan Norbertus Riantiarno

Warisan Norbertus Riantiarno
(MI/Arsip Teater Koma)

HARUM semerbak nama dramawan nasional Norbertus Riantiarno akan selalu menyertai perjalanan bangsa ini. Dia telah mewariskan karya-karyanya kepada kita, baik di ranah teater, film, maupun sastra. 

Memang, Nano, sapaan sehari-hari Norbertus, lebih terkenal luas sebagai pendiri Teater Koma, namun sesungguhnya dia juga penyair ulung. Puisi-puisinya berbobot dan bermakna sebab lekat dengan kehidupan sehari-hari. 

Suatu waktu di 2012, pernah saya bertamu ke rumah Nano di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Perbincangan seputaran proses kreativitas berteater, namun obrolan pun meluas ke dunia puisi yang juga ia geluti. 

Kami duduk bercerita di ruangan samping. Nano "menyulap" rumahnya itu sebagai markas latihan aktor-aktor Teater Koma. Tak berapa lama, dia melangkah ke ruangan lainnya. Sejurus, muncul kembali dengan memegang buku. 

Nano langsung menyodorkan buku himpunan puisi berjudul Degung Rindu dengan senyuman lebar. Saya menatap matanya seraya menerima dengan senang hati. "Seorang seniman harus memiliki gagasan umum dan khusus. Puisi itu khusus, sedang teater itu umum," ujarnya, saat itu. 

Kini, Nano sudah berpulang ke pangkuan Sang Khalik pada Jumat (20/1) di usia ke-73. Dia adalah salah satu budayawan mumpuni yang pernah Republik ini miliki. Bagi Nano, teater telah menjadi darah dan daging yang menyatu dalam kehidupan. 

Semasa hidupnya, Nano sudah menulis lebih dari 20 buku, baik drama, novel, cerita pendek, maupun kumpulan puisi. Untuk puisi, ada tiga antologi tunggal. Ketiganya ialah Ratna (1975), Dari yang Busuk Adakah (1975), dan Degung Rindu yang ditulis pada 2005 dan diterbitkan pada 2008. 

Jujur, saya pribadi sempat tidak mengikuti secara langsung perkembangan Teater Koma pada 2015-2021. Kebetulan, sedang tinggal di Moskwa, Rusia, kala itu. Saya lebih memilih untuk menonton karya-karya Anton Chekhov (1860-1904) yang ditampilkan kembali oleh kelompok-kelompok seni kontemporer di Teater Maly. 

Namun, selama pandemi Covid-19 melanda dunia, terjadi perubahan total dalam ranah perteateran secara global. Pemanfaatan teknologi informasi sebagai pilihan di mana-mana. Tak ketinggalan, Teater Koma ikut beradaptasi mementaskan lakon-lakonnya secara daring. Itu dinilai lebih ampuh. Sebab siapa saja dapat menonton dari rumah masing-masing, tanpa batas kota, negara, dan benua. 

Nano telah ikut berkontribusi besar dalam menuangkan pemikiran-pemikiran jernihnya. Dia bolehlah disebut sebagai seorang "guru besar". Itu tercermin lewat bukunya berjudul Kitab Teater: tanya jawab seputar seni pertunjukan (Grasindo, Jakarta, 2011). Segala macam persoalan teater disajikan secara lengkap di dalam buku setebal 308 halaman, itu. 

Topik tentang sejarah teater nasional, tokoh drama dunia, dan trik menjaga penonton agar setia menjadi bahan yang Nano tuangkan. Baginya, karakter menjadi penting karena merupakan gambaran manusia dalam pertunjukan teater dan karya sastra. 

Dalam Kitab Teater, Nano sangat jeli merujuk kepada berbagai tinjauan dari para pemerhati, kritikus, dan pelaku teater dunia. Dia lihai memadukan referensi asing dan lokal. Menghadirkan perbandingan dengan kelompok teater kontemporer lainnya sebagia kekuatan dalam bukunya. 

Saya pikir memang menarik apa yang telah Nano wariskan lewat karya-karyanya. Generasi-generasi mendatang dapat mempelajari pemikiran-pemikirannya yang jernih dan murni. Semuanya telah dituangkan Nano lewat wadah kesenian. Ya, tentu saja, kepergian Nano menjadi duka dunia teater Indonesia. 


Aku rindu menatap wajahMu, ya Kekasih. Prihatin kerana tuahMu nyaris terkikis. 


Puisi sebagai jalan menenangkan jiwa 

Sebagaimana inti dalam teater ialah komunal. Pertunjukan harus digelar secara bersama, pada suatu saat, dan di sebuah tempat. Bagi Nano, teater secara utuh harus dipandang secara berbeda sebab "esok adalah sekarang". Untuk merealisasikannya, dibutuhkan tiga kekuatan yang menyatu padu. Ketiganya ialah pekerja teater, tempat, dan penonton. 

Sebaliknya, puisi bagi Nano adalah jalan "keakuan" untuk menenangkan jiwa. Tak heran jika puisi-puisi yang pernah dia tulis begitu lekat dengan unsur filsafat. Tengok saja, puisi berjudul Jeritan yang terangkum dalam buku Degung Rindu, Penerbit Yayasan Komadjid, Jakarta (2008). Berikut petikan puisinya. 

Penantianku serupa api neraka 
simpul celaka bikin mati rasa 
tak melilit leher selimut pisau 
benang kusut lukisan kacau balau 

Penantianku serupa siksa niscaya 
gelombang ganas menggeram 
sepi mercusuar di pulau karang 
penjara lembab dan lumutan 

penantianku bagai kapal mati angin 
berputar-putar di lingkar pusar air 
penantian apa pun 
bebaskan aku 
duh 

Puisi Nano lainnya yang sangat kuat berjudul Rindu (hlm 76). Dia menulis sekitar awal 1980-an. Pesan kerinduan dengan unsur keilahian disuguhkan secara realis. Nano terbilang sangat religius lewat puisi ini. Berikut bunyi bait-baitnya. 

Aku rindu menatap wajahMu, ya Kekasih 
terlalu jauh jarak yang kemarin kubikin 
terasa dekat tapi hanya bayang-bayang 
cahaya SuciMu sungguh sukar kupegang 

Aku rindu menatap wajahMu, ya Kekasih 
prihatin kerana tuahMu nyaris terkikis 
sebab aku sudah dimabok kepayang 
Putri Herodes yang menari telanjang 

Hilang aku di lautan gemuruh 
kilat menghajar jiwa rapuh 
tanpa daya, jadi serpih sampah 
di langitMu cinta melimpah ruah 

Aku rindu menatap wajahMu, ya Kekasih 
tapi rinduku terbang lewat jelusi jendela 
termangu aku di kamar pengakuan dosa 
pastor putih mematok tiga kali doa tobat 

Aku rindu 
ya Kekasih 
rindu 
teramat rindu 
tapi di mana Kamu? 
Aku merintih 
dan hanya mampu 
merindu 

Sebagai seorang individualis, Nano juga menghadirkan metafora lewat puisinya berjudul Aku Cuma Seekor Lalat. Dia menulisnya pada 1997 (hlm143). Ini puisi ditujukan kepada seseorang tercinta. Semacam pengakuan akan kasih putih yang abadi. Berikut petikannya. 

Aku cuma seekor lalat 
dipatok takdir lewat ukuran 
ada yang dimuliakan 
bagianku cuma kekotoran 

Aku cuma seekor lalat 
sekaligus sepotong alat 
nasib tak bisa lagi diralat 
mati pun aku tetap lalat 

Puisi berikutnya berjudul Tiada Penutup (hlm 171). Nano suguhkan secara jujur sebagai seorang manusia yang juga memiliki kekurangan. Dia membutuhkan orang lain di sekitarnya agar tetap kuat mengarungi lautan kehidupan. Berikut bait demi baitnya. 

Masih ada cinta di antara kita 
memandu jalan jadi pelita 
masih ada cinta di antara kita 
mengubah luka jadi bahagia 
masih ada cinta di antara kita 
penerang kalbu matahari jiwa 
masih ada cinta di antara kita 
masih ada dan selalu ada, jika… 

Memahami setiap puisi demi puisi di atas, Nano mampu menuangkan segala perasaannya lewat kata-kata secara teduh. Dia memberikan pesan tersurat kepada orang-orang di sekitarnya. Makna kehidupan sesungguhnya ialah kesabaran. 

Selain berkarir dalam ranah teater dan sastra, sesungguhnya Nano pernah ikut mendirikan majalah Zaman pada 1979 dan majalah Matra pada 1986. Pada 2001, Nano pensiun sebagai wartawan. Ia pun fokus pada produksi-produksi bersama Teater Koma secara lebih profesional. 

Tak ada tubuh yang abadi. Ya, Nano telah selesai menunaikan tugas mulia sebagai budayawan. Warisannya di bidang kebudayaan selaiknya dapat tercatat abadi dalam sejarah di Republik ini. Semangat dan perjuangan Nano patut diteladani sebagaimana nama Chekhov yang senantiasa harum di empat musim berbeda. (SK-1) 


Baca juga: Waras
Baca juga: Dari Stanislavski sampai Riantiarno 
Baca juga: Mengingat Penyair Intojo di Hari Puisi Sedunia

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin, Pentas Grafika, Jakarta, 2022. Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). Foto header: Norbertus Riantiarno (MI/Arsip Teater Koma)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat