visitaaponce.com

Waras

Waras
(MI/Caksono)

ADA salah satu kutipan populer dari filsuf sekaligus sastrawan ternama Rusia Fyodor Dostoyevsky (1821-1881). Bunyinya: 'diam adalah bakat yang hebat' (dalam novel Iblis). Saya setuju dengan sari pemikiran tersebut sebab Dostoyevsky menuliskannya secara waras dan jernih hatinya. 

Novel bergenre anti nihilistik tersebut pertama kali dipublikasikan di sebuah jurnal terkenal bernama Russkiy Vestnik (Buletin Rusia) pada 1870-1872 di St Petersburg, Rusia. Saat naik cetak banyak pembaca menaruh perhatian khusus, terutama keseriusan Dostoyevsky dalam mengarungi dunia kesusastraan. 

Bahkan, tidak sedikit para pesastra yang merasa terancam dan tersaingi oleh hadirnya Dostoyevsky. Konon, sepanjang hidupnya, Dostoyevsky tidak pernah bertatap muka dan berbicara dengan Leo Tolstoy (1828-1910), sastrawan hebat semasa hidup mereka. 

Saya mulai menyenangi karya-karya Dostoyevsky saat belajar bahasa Rusia di Moskwa, pada 2015 silam. Cara sang 'pendiam' itu menuangkan buah pikiran jenius dalam novel dan cerita bersambung membuat siapapun akan ketagihan. Terutama, bagi mereka yang menyukai karya-karya lawas Dostoyevsky dalam bahasa aslinya. 

Kerumitan dan kesukaran yang ada dalam tata bahasa Rusia membuat saya terpacu belajar sabar, berpikir logis, dan bersukaria membaca. Kini, saat di Tanah Air akibat dampak pandemi covid-19, semua lebih mudah. Saya bisa bimbingan, berdiskusi, dan berkabar dengan profesor dari manapun secara daring. 

Terlepas dari kerumitan tata bahasa Rusia, sebagai putra bangsa dari timur Republik ini, saya lebih nyaman membaca dan menuliskan prosa dan esai dalam bahasa kita. Bahkan saat diundang sebagai peserta pada Festival Sastra Dunia Chekhov pada musim gugur 2019 di Yalta, Republik Krimea, saya 'setel yakin' membaca puisi-puisi dalam Bahasa Indonesia. 

Motivasi itu sesungguhnya saya dapati dari sejumlah tokoh senior diaspora Indonesia di Rusia. Salah satunya Ami Intoyo. Ia begitu bangga berkomunikasi dengan anak cucunya dalam Bahasa Indonesia, bahkan Bahasa Jawa. Ami sendiri adalah putri dari mendiang Prof Intoyo, penyair dan salah satu tokoh penting Pujangga Baru. 

Bahasa bagi budaya Barat adalah identitas kultural. Tak heran, saat bangsa Prancis, Portugis, Spanyol, dan Belanda datang berlayar ke kepulauan di Nusantara pada abad ke-16 (bahkan abad sebelumnya) mereka begitu bangga menggunakan bahasa ibu mereka. 

Bangsa Portugis, misalnya, mampu memengaruhi penduduk di Pulau Flores dan Timor. Hingga kini nama-nama orang-orang di daerah-daerah Nusa Tenggara Timur tersebut masih kental dengan nama ala Portugis. Bahkan, di Timor, mereka yang berdarah campuran disebut kase muti (tuan putih) dan sebaliknya kase metan (tuan hitam). 

Berbicara tentang bahasa, saya memiliki pengalaman. Terutama, saat bercakap-cakap dari Indonesia dengan teman-teman di Rusia. Mereka lebih nyaman berbicara dalam bahasa mereka ketimbang menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Prancis. Bahasa sebagai identitas kultural menjadi bagian penting dalam peradaban bangsa mereka. 

Untuk ikut menjaga identitas bahasa kita, Sajak Kofe hadir dengan mengusung diri sebagai 'warung puisi pascakontemporer Indonesia'. Gerakan ini awalnya biasa-biasa saja. Edisi perdana pada 22 September 2021, Sajak Kofe menampilkan sajak-sajak karya penyair Acep Zamzam Noor. 

Kehadiran rubrik puisi dalam payung Media Indonesia ini mendapatkan apresiasi. Namun, persoalan awal pun muncul saat beberapa penulis bertanya apakah rubrik Sajak Kofe berhonor atau tidak. Pertanyaan ini memang sederhana, namun menggelitik dan mendapatkan respon berbeda-beda. 

Rubrik puisi harian Media Indonesia memang sudah tiga tahun terakhir tidak terbit. Kini, atas kebijakan redaksi dibawah Pemimpin Redaksi Gaudensius Suhardi dan mediaindonesia.com dibawah naungan Asisten Kepala Divisi Victor JP Nababan, maka ada niat baik. 

Rubrik puisi dihidupkan kembali dengan nama Sajak Kofe. Tujuannya untuk menjangkau para pembaca dan penggemar puisi, baik di dalam maupun luar negeri. Puisi adalah bagian dari jati diri bangsa yang hebat ini. Sajak Kofe disajikan dalam wadah daring. Jika ke depannya pembaca bertambah dan pengiklan bagus maka terbuka lebar untuk dikolaborasikan di lembaran harian Media Indonesia edisi Minggu sehingga berhonor bagi penulis luar. 

Polemik itu indah 

Polemik terkait seseorang penulis muda menanyakan honor lalu berujung pada postingan ala 'kekanak-kanakan' di media sosial menjadi sebuah awal perjuangan bagi Sajak Kofe. Dari polemik itulah, maka Sajak Kofe pun mulai diperbincangkan, diadili, dihujat, dan dikenal luas, namun juga sebaliknya disayangi dan dicintai banyak penulis. 

Seorang bijak pernah mengatakan bahwa cinta dan benci sama takarannya. Artinya, semakin dibenci kian besar pula dicintai. Bagi Sajak Kofe, kepentingan publik adalah hal yang diutamakan karena menyangkut karya para penyair di Republik ini. 

Tim Sajak Kofe berterima kasih dan tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang ingin mengerdilkan Sajak Kofe sebelum berkembang dan berbunga. Bagi saya, banyak teman-teman belum menerima informasi secara akurat sehingga perlu dirangkul dan dijaga secara bersama ke depannya. 

Perpuisian Indonesia hanya bagian kecil dalam perjalanan menuju ke pendewasaan bangsa kita. Polemik memang perlu dilihat secara bijak. Tidak berguna membalas cacian dengan cacian, makian dengan makian, dan kabar hoaks (hoaxdengan hoaks. Masyarakat sastra di Republik ini sudah pintar. 

Semua bisa melihat secara jernih; hitam atau putih. 

Keterbukaan informasi di abad ke-21 membuat setiap orang secara mudah sekali mengakses informasi. Namun, sialnya jika informasi yang didapat adalah 'kabar burung', 'katanya', atau informasi tak benar. Dalam jurnalistik, wajib hukumnya untuk kita melakukan verifikasi dan konfirmasi. Sederhana saja. 

Sajak Kofe mencuat dan menjadi perbincangan ramai di pelbagai komunitas sastra di Tanah Air. Saya dan Tim Sajak Kofe pun yakin bahwa benih yang ditaburi di tanah yang subur akan menghasilkan tuaian atau hasil yang baik kelak. 

Sajak Kofe sebagai wadah puisi bersama berkomitmen menampung karya-karya terbaik kiriman penulis luar, baik dalam mapun luar negeri. Sebab, sebagai titik awal pascakontemporer, kita senantiasa melihat ke depan. Menjawab tantangan globalisasi, bukan sebaliknya mengakukan diri sendiri atau kelompok tertentu. 

Kita memiliki mimpi besar bersama. Dunia perpuisian Indonesia wajib mendapatkan tempat laik di panggung Nobel dunia suatu hari nanti. Media Indonesia sangat mendukungan kemajuan perpuisian di Republik ini. Tidak mempertentangkan latar belakang, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 

Sajak Kofe menghadirkan puisi sukacita. Tidak hanya penyair, namun juga petani, nelayan, pedagang, pekerja profesional, pejabat, dan lain-lain. Terbuka pintu bagi siapapun yang mengetuknya.

Sebagaimana pesan Dostoyevsky bahwa 'diam adalah bakat yang hebat'. Memang secara daging (tubuh) pastilah berat. Namun, penyair hebat adalah mereka yang memiliki mata hati bijak, mampu menguasai diri, dan memelihara pikiran sendiri. Berdiam disaat harus diam dan berbicara disaat waktunya bicara. 

Ini sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh sastrawan hebat Pramoedya Ananata Toer (1925-2006). Petuahnya begitu teduh berbunyi: 'kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana' (dalam Bumi Manusia). Ada sukacita dalam puisi. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang
Baca juga: Lomba Cipta Puisi Media Indonesia

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, editor puisi Media Indonesia, penyair Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Republik Krimea, Federasi Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat