visitaaponce.com

Buka Tangan dan Telinga untuk Merawat Papua

Buka Tangan dan Telinga untuk Merawat Papua
Wartawan Media Indonesia Emir Chairullah.(Dok. Pribadi)

KURANG lebih satu bulan, Emir Chairullah, tinggal sekaligus melakukan pengamatan di Papua. Dari periode tersebut, ia kemudian menuntaskan disertasi yang bertemakan penyelesaian konflik di Papua, sekaligus melahirkan buku berjudul Indonesia’s Failure in Papua: The Role of Elites in Designing, Implementing and Undermining Special Autonomy.

Dari sepintas membaca judulnya, banyak orang mengira buku setebal 190 halaman ini hanya berbicara soal kegagalan pemerintah Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik di wilayah Papua melalui desain otonomi khusus. Namun, tulisan Emir sesungguhnya menguliti lebih dari hal tersebut.

"Buku ini bukan sekadar menyoal kegagalan pemerintah dalam penyelesaian konflik Papua. Ada dua bab yang juga membahas proses keberhasilan pemerintah dalam meredam konflik. Nah, keberhasilan yang berujung pada kesepakatan itu lantas entah tidak dimaksimalkan atau malah tidak dikerjakan oleh elite pembuat keputusan hingga konflik tetap merebak," kata Emir melalui sambungan telepon, Kamis (25/5).

Dalam buku yang diterbitkan oleh Routledge itu, ia memaparkan keberhasilan proses meredam konflik di Papua dimulai pada masa transisi antara Orde Baru ke Orde Reformasi, atau tepatnya di era Presiden BJ Habibie. Akan tetapi, saat itu belum terwujud suatu kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat lokal perihal otonomi khusus di wilayah tersebut. 

Upaya serupa lantas dilanjutkan oleh pemerintahan presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Setelah bernegosiasi kurang lebih dua tahun, Jakarta dan Papua mencapai kesepakatan yang lantas mengejawantah dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Emir menjelaskan, penyebab pemerintahan Presiden Habibie belum berhasil mencapai kesepakatan dengan masyarakat Papua, salah satunya ialah faktor sikap pemerintah pusat yang mengabaikan kesetaraan dalam berdialog. Alih-alih bersikap layaknya mitra diskusi yang sejajar, pemerintah pusat justru langsung menyodorkan skema kebijakan.

Sebaliknya, kendati Gus Dur melanjutkan upaya yang sudah dimulai pendahulunya, ia memilih untuk tidak mengabaikan kebebasan masyarakat Papua. "’Terserah kalian maunya apa, otsus seperti apa, tetapi jangan lepas dari Indonesia. Kamu boleh merdeka, tapi di Indonesia’," tutur Emir menceritakan siasat Gus Dur kala itu yang lantas diterima oleh masyarakat Papua.

Pendekatan Gus Dur itu lantas dibahas dan dianalisis oleh Emir, bahwa ada dua makna berbeda yang bisa dibaca dari konflik di Papua. Pemerintah pusat harus mencari tahu apa yang diinginkan masyarakat Papua soal merdeka.

Emir pun menyebutkan jika penyebab utama konflik Papua bukan lah masalah perekonomian, tetapi keamanan. Pemerintah harus memahami yang mereka inginkan ialah merdeka di dalam Indonesia. Masyarakat Papua ingin berdaulat dan berdiri di kaki sendiri tanpa ada kekerasan dan ancaman.
Penyandang gelar Doktor dari University of Queensland ini berharap bukunya bisa dibaca tuntas oleh elite pengambil keputusan. Karena ia memaparkan sejak mula munculnya wacana otonomi khusus di Papua, implementasi, dan kaitannya dengan proses meredam konflik.

"Buku ini menawarkan balik yuk balik ke 1999-2001, semua dibicarakan dan didialogkan, masalah mereka apa dan apa yang harus dilakukan. Mereka itu membaca loh apa yang dikatakan pemerintah dan apa yang dilakukan. Dialog serius, pilih orang yang tepat dengan latar belakang yang baik. Satu kunci lagi, jangan merasa lebih tinggi dari mereka, upayakan kesetaraan seperti Gus Dur dulu," tutur pria yang juga menjadi pengajar di Presiden University tersebut.

Secara struktur, inti buku Indonesia’s Failure in Papua terbagi dalam tujuh bab. Setelah pendahuluan, bab kedua mengulas sejumlah literatur yang berkenaan dengan demokratisasi di Indonesia pascarezim otoriter, terutama yang berkaitan dengan penerapan kebijakan desentralisasi dan impaknya dalam mengurangi konflik seperatisme di daerah.

Di bab berikutnya, Emir secara lebih detail mengkaji tentang sejarah kebijakan desentralisasi di Indonesia. Ia menyoroti fakta adanya perbedaan dalam setiap kebijakan desentralisasi yang didasarkan pada konteks atau situasi politik yang berlaku. Bab ini juga menguraikan sejarah konflik Papua, yang lantas muncul lebih terbuka setelah runtuhnya rezim otoriter.

‘Melihat ke karakteristik desentralisasi sangat membantu untuk menjelaskan proses negosiasi antara elit Papua dan Jakarta dalam menanggapi tantangan kemerdekaan Papua,” tulis Emir dalam pengantarnya.

Adapun bab 4, 5, 6, dan 7 mengungkapkan dan menganalisis beberapa temuan utama dari penelitian yang dilakukan Emir,` yang dapat dikategorikan sebagai temuan baru. Tidak seperti teori elit klasik, temuan dalam bab-bab ini sejalan dengan konsepsi dan perdebatan saat ini bahwa proses pengambilan keputusan juga dibentuk oleh aktor-aktor lain di luar elite kekuasaan.

Selain soal sejarah upaya meredam konflik Papua, buku ini juga merupakan bantahan Emir atas beberapa argumen dari tulisan pihak Belanda, Inggris, dan Australia yang menyiratkan keinginan Papua ingin lepas dari Indonesia. Keyakinan Papua tidak mau lepas dari Indonesia disimpulkan Emir dari sejumlah wawancaranya bersama masyarakat Papua yang ikut bernegosiasi bersama pemerintah pusat hingga menghasilkan UU Otsus Papua.

"Ayo dialog. Mungkin sudah, tapi belum serius. Jangan mendikte mereka. Papua tidak akan lepas jika Indonesia tidak melepaskannya. Saya berkawan dengan TNPB, tetapi saya bilang dengan mereka jika saya tidak sepakat dengan keinginannya," pungkasnya. (Wnd/M-2)

Detail Buku:

Judul:   Indonesia’s Failure in Papua: The Role of Elites in Designing, Implementing and Undermining Special Autonomy.

Penulis: Emir Chairullah

Tahun terbit: 2022
Penerbit: Routledge

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat