visitaaponce.com

Daur Ulang bukan Solusi untuk Mengurangi Polusi Plastik

Daur Ulang bukan Solusi untuk Mengurangi Polusi Plastik
Limbah plastik(Emmanuel DUNAND / AFP)

Skala polusi plastik terus meningkat. Menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dunia menghasilkan sampah plastik dua kali lebih banyak dibandingkan dua dekade lalu, mencapai 353 juta ton pada 2019.

Sebagian besar masuk ke tempat pembuangan sampah, dibakar atau “salah kelola”, yang berarti dibiarkan sebagai sampah atau tidak dibuang dengan benar. Hanya 9% sampah plastik yang didaur ulang.

Meningkatkan daur ulang plastik mungkin tampak seperti cara yang logis untuk mengubah sampah menjadi sesuatu yang berguna. Tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa daur ulang plastik menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan, termasuk tingginya tingkat mikroplastik dan racun berbahaya yang dihasilkan oleh proses daur ulang yang dapat berbahaya bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

Baca juga : Mengelola Limbah Belanja

“Sejujurnya, kami menemukan jumlah yang cukup menakutkan,” kata ilmuwan Erina Brown, penulis utama makalah penelitian tentang limpasan mikroplastik yang diproduksi oleh pusat daur ulang, yang diterbitkan pada Mei 2023, seperti dikutip France24, Rabu (31/5).

Pusat daur ulang Inggris tempat Brown mendasarkan studinya menggunakan air dalam jumlah besar (praktik umum dalam industri daur ulang) untuk menyortir, menghancurkan, dan memisahkan plastik sebelum digabungkan dan diubah menjadi pelet untuk dijual kembali.

Penelitiannya menguji tingkat mikroplastik – partikel plastik berukuran hingga 5 mm – yang dilepaskan ke dalam air melalui proses tersebut. “Ada 75 miliar partikel per meter kubik dalam air cucian itu,” katanya. “Sekitar 6% dari semua plastik yang masuk ke fasilitas kemudian dilepaskan ke dalam air sebagai mikroplastik, bahkan dengan [sistem] filtrasi.”

Baca juga : Aktivis Iklim Ingatkan Bahaya Polusi Plastik dari Puntung Rokok

Para ilmuwan masih meneliti kemungkinan risiko mikroplastik terhadap kesehatan manusia. Mereka dianggap membawa organisme penyebab penyakit yang bertindak sebagai vektor penyakit di lingkungan – di mana banyak partikel plastik yang dihasilkan dari daur ulang kemungkinan besar akan berakhir.

“Air yang digunakan di pusat daur ulang di seluruh dunia sering melewati fasilitas pengolahan limbah, yang tidak dirancang untuk menyaring mikroplastik seukuran ini”, kata Brown.

Mikroplastik yang terperangkap dalam lumpur limbah sering kali secara tidak sengaja diaplikasikan ke ladang sebagai pupuk, sementara mikroplastik yang tertinggal di air yang telah diolah memasuki aliran lokal dan berakhir lebih jauh lagi – sebuah studi yang dirilis pada bulan Maret menunjukkan mikroplastik dari sungai Eropa telah menyebar ke laut di kutub utara.

Baca juga : Anggota G7 Berkomitmen Hentikan Limbah Plastik pada 2040

Lebih dari dua pertiga negara anggota PBB sepakat pada Maret tahun lalu untuk mengembangkan perjanjian yang mengikat secara hukum tentang polusi plastik pada 2024, dan pertemuan putaran kedua untuk menyusun perjanjian itu dimulai pada Senin (29/5) di Paris dan akan berlangsung hingga Jumat.

Program Lingkungan PBB (UNEP), yang menjadi tuan rumah pembicaraan, merilis peta jalan untuk mengurangi sampah plastik hingga 80% pada tahun 2040.

Tetapi beberapa kelompok lingkungan mengatakan tiga bidang tindakan utama yang diuraikan – penggunaan kembali, daur ulang, dan reorientasi ke bahan alternatif – adalah konsesi bagi industri plastik dan petrokimia global karena mereka meremehkan kebutuhan untuk mengurangi penggunaan plastik sama sekali.

Baca juga : P&G Berkomitmen pada Bisnis Berkelanjutan demi Pelestarian Lingkungan

Risiko lebih besar

Mendaur ulang plastik berarti bekerja dengan bahan kimia beracun yang berbahaya. Plastik dibuat dengan sebanyak 13.000 bahan kimia, menurut laporan PBB bulan ini, dan 3.200 di antaranya memiliki "sifat berbahaya" yang dapat memengaruhi kesehatan manusia dan lingkungan. Banyak lagi bahan lainnya yang belum pernah dinilai dan mungkin juga beracun, menurut laporan dari Greenpeace yang dirilis minggu lalu.

“Selain itu, hanya sebagian kecil dari bahan kimia tersebut yang diatur secara global, “ kata Therese Karlsson, penasihat sains dan teknis di International Pollutants Elimination Network (IPEN). “Karena tidak ada transparansi [di pasar], tidak ada cara bagi orang untuk mengetahui plastik mana yang mengandung bahan kimia beracun dan mana yang tidak.”

Baca juga : Menanti Kebijakan Politik Global untuk Mengakhiri Polusi Plastik

Risiko yang ditimbulkan bahan kimia ini meningkat di antara plastik daur ulang, karena produk dengan komposisi yang tidak diketahui dipanaskan dan dicampur bersama. “Hasilnya adalah produk yang sama sekali tidak dikenal yang diperkenalkan kembali ke pasar,” kata Karlsson.

Laporan Greenpeace juga merinci peningkatan risiko kesehatan bagi pekerja pusat daur ulang yang terpapar bahan kimia beracun, termasuk kondisi kesehatan jangka panjang seperti kanker dan kerusakan pada sistem reproduksi. Karlsson juga menemukan tingkat bahan kimia beracun yang lebih tinggi dalam plastik daur ulang daripada plastik murni, termasuk peralatan dapur, mainan anak-anak, dan kemasan makanan.

“Penyebaran tidak berakhir di situ. Kami telah melakukan penelitian pada telur yang dekat dengan tempat daur ulang plastik dan menemukan bahwa bahan kimia ini masuk ke dalam rantai makanan,” kata Karlsson.

Baca juga : Fakta Seputar Plastik dan Polusi

Pangsa sampah plastik yang didaur ulang secara global diperkirakan akan meningkat menjadi 17% pada tahun 2060, menurut angka dari OECD. Tetapi mendaur ulang lebih banyak tidak akan mengatasi masalah besar: setelah didaur ulang sekali atau dua kali, sebagian besar plastik menemui jalan buntu.

“Ada mitos dengan daur ulang plastik bahwa jika kualitasnya cukup baik, ia dapat didaur ulang kembali menjadi botol plastik,” kata Natalie Fée, pendiri City to Sea, sebuah badan amal lingkungan yang berbasis di Inggris. “Tapi saat melewati sistem, kualitasnya menjadi semakin rendah. Plastik hasil daur ulang yang diubah menjadi pipa atau terkadang pakaian bulu, kadang tidak bisa didaur ulang lagi setelahnya.”

Oleh karena itu sulit untuk menyatakan bahwa plastik daur ulang adalah bahan yang berkelanjutan, kata Graham Forbes, pemimpin Kampanye Plastik Global di Greenpeace USA, dalam sebuah pernyataan minggu ini. “Plastik tidak memiliki tempat dalam ekonomi sirkular. Jelas bahwa satu-satunya solusi nyata untuk mengakhiri polusi plastik adalah dengan mengurangi produksi plastik secara besar-besaran.”

Baca juga : Iilmuwan Temukan Teknik Baru Mengubah Plastik jadi Berlian

Dan tidak mungkin peningkatan daur ulang untuk mengimbangi jumlah sampah plastik yang diproduksi – yang diperkirakan akan meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2060. “Tidak mungkin kita bisa menjadikan daur ulang sebagai jalan keluar dari masalah ini, karena itu tidak berfungsi,” tambah Karlsson, seraya berharap hal ini akan dibahas dalam pertemuan yang sedang berlangsung di Paris pekan ini.

Menjelang pembicaraan di Paris, koalisi 55 negara menyerukan pembatasan beberapa bahan kimia berbahaya dan larangan produk plastik bermasalah yang sulit didaur ulang dan sering berakhir di alam.

Karlsson menghadiri pertemuan itu, dan dia melihat alasan untuk berharap. “Perjanjian plastik adalah peluang luar biasa untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari polusi plastik. Melakukan hal itu berarti menghilangkan bahan kimia beracun dari plastik secara bertahap, memastikan transparansi di seluruh siklus hidup plastik, dan juga mengurangi produksi plastik,” ujarnya. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat