visitaaponce.com

Menilik Material Bambu Sebagai Cara Baru Membangun Hunian Berkelanjutan

Menilik Material Bambu Sebagai Cara Baru Membangun Hunian Berkelanjutan
ilustrasi: Pohon dan Rumah Bambu(uunsplash.com/Yuri Shirota)

Sudah sejak lama pohon bambu digunakan sebagai pendukung kehidupan sehari-hari bagi masyarakat di wilayah Asia, termasuk Indonesia. Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, pohon bambu kerap menjadi senjata untuk menentang kaum penjajah. Ada pula yang memanfaatkan bambu sebagai konsumsi harian, pakan hewan, dan bahan bakar memasak.

Selain itu, tanaman serbaguna yang telah digunakan sejak zaman kuno ini sering dimanfaat untuk keperluan konstruksi sebagai material pembuatan benda rumah tangga yang bersifat artistik serta menjadi material bangunan yang berkelanjutan (sustainable).

Di tengah kemajuan teknologi dan energi, eksistensi bambu sebagai material hunian masih terus lestari di tengah masyarakat Asia Tenggara. Salah satunya seorang warga Filipina, Earl Forlales yang membangun rumahnya dengan berkaca pada masa lalu lewat penggunaan material bambu.

Rancangan rumah ala Forlales ini terinspirasi dari rumah bambu milik kakek dan neneknya yang tinggal di “Bahay Kubo” atau Nipa Huts, sebuah hunian tradisional yang merupakan simbol kehidupan pedesaan Filipina.

“Bahay Kubo adalah sebuah gubuk tua dari material bambu tradisional dengan satu lantai yang dibangun di atas panggung. Orang Filipina telah menggunakan bambu (untuk perumahan) bahkan sebelum masa kolonial selama ribuan tahun,” ungkap Forlales seperti dilansir dari CNN pada Minggu (20/8).

Memiliki tekstur yang kuat dan fleksibel, menjadikan bambu sebagai salah satu tanaman dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Ada jenis bambu yang mencapai usia kematangan dalam waktu sekitar 3 tahun saja.

Adapun pohon bambu yang biasanya mencapai usia matang antara 40-50 tahun, artinya bambu tumbuh cepat dibanding tanaman lain di planet ini.

Menyadari bahwa Bahay Kubo dapat diadaptasi untuk menciptakan rumah kontemporer, Forlales mulai merancang rumah bambunya sendiri. “Ketika rumah yang berasa dari bambu dirawat dan direkayasa dengan berbagai teknik, bangunannya bisa bertahan selama beberapa dekade,” jelasnya.

Rumah bambu bergaya modular yang dirancang Forlales dengan nama Cubo itu pun akhirnya memenangkan penghargaan kompetisi Cities for our Future dari Royal Institute of Chartered Surveyors (RICS) tahun 2018.

“Meski struktur rumah tersebut dapat dibangun hanya dalam beberapa hari saja, tetapi usia hunian diperkirakan akan bertahan hingga 50 tahun,” ujar Forlales.

Secara spesifikasi, rumah bambu Cubo memadukan banyak aspek tradisional “Bahay Kubo” termasuk pondasi dan kisi-kisi yang ditinggikan, sejenis kerai jendela yang memungkinkan ventilasi dan cahaya alami.

Rumah ini juga dilengkapi dengan atap miring yang mampu menampung air hujan. Forlales juga memberikan beberapa aksen kekinian abad ke-21, termasuk fitting lampu modern dan jendela polikarbonat tahan benturan.

“Filipina rentan terhadap gempa bumi dan angin topan, sehingga rumah-rumah tersebut dirancang dengan mempertimbangkan bencana alam. Kami juga menggunakan pondasi beton tulang sebagai sebagai penghubung antara dinding, atap dan panel lantai dan sebagai menggantikan panggung tradisional,” jelasnya.

Cubo menawarkan empat model berbeda yang dapat menampung hingga enam penghuni. Setiap rumah dibuat sesuai pesanan dan dapat disesuaikan untuk menyertakan elemen seperti panel surya di atap, yang semakin mengurangi biaya pengoperasian dan jejak karbon penghuninya.

Krisis perumahan

Filipina saat ini tengah menghadapi kekurangan perumahan yang semakin tinggi dengan perkiraan 4,5 juta orang kehilangan tempat tinggal dan kekurangan rumah pada tahun 2021.

Meski saat ini perusahaannya memproduksi enam rumah per bulan, menurut Forlales permintaan jauh lebih tinggi dan dia berharap dapat meningkatkan pasokan.

Dia jga berharap desain modular Cubo dan penggunaan bambu dapat membantu dan mempercepat pembangunan yang berkelanjutan, sekaligus memberikan solusi perumahan yang terjangkau untuk krisis perumahan yang semakin mahal di Filipina.

“Orang Filipina menyambut hangat produk tersebut karena sangat familiar. Mereka menyadari bahwa ini adalah evolusi intuitif untuk rumah bambu lokal Filifina,” ungkapnya.

Proses pembuatannya sendiri membutuhkan biaya konstruksi mencapai US$12.900 hingga S$35.738 atau setara Rp197 juta hingga Rp500 juta dengan biaya per meter Rp 1,12 juta. Harga ini dinilai sebanding dengan rumah kelas menengah yang dibangun dengan bahan konvensional.

Namun, Forlales berencana menurunkan harga dengan merampingkan biaya produksi dan meningkatkan otomatisasi di proyek. Perusahaannya juga telah memperkenalkan rencana pembayaran, untuk membantu mengurangi biaya di muka bagi pembeli.

“Dengan bambu yang tumbuh secara alami di seluruh Asia, jadi setiap negara memiliki spesies bambu mereka sendiri yang dapat Anda gunakan untuk konstruksi,” kata Forlales Di wilayah Asia, terdapat jutaan kilometer persegi yang ditanami bambu, jadi mudah didapatkan,” tambahnya. (M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat