visitaaponce.com

Indonesia Punya Peluang Masuk ke Rantai Pasok Farmasi Global

Indonesia Punya Peluang Masuk ke Rantai Pasok Farmasi Global
Gerai ritel farmasi di salah satu pusat perbelanjaan(Antara/Puspa Perwitasari)

PENELITI dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menuturkan, Indonesia perlu mengambil peluang menempatkan diri dalam Global Value Chain (GVC) yang muncul dari penerapan karantina beberapa wilayah di Tiongkok dan menghentikan kegiatan industrinya.

Hal tersebut mengakibatkan banyak negara mitra dagang Negeri Tirai Bambu mencari sumber pasokan dari negara lain.

"Peluang-peluang yang muncul dari usaha mengurangi ketergantungan rantai pasokan obat terhadap Tiongkok harus ditangkap dan dieksekusi dengan baik. Agar Indonesia bisa masuk ke dalam GVC sektor farmasi, tentu pemerintah harus mengerti bagaimana GVC bekerja dan serius membenahi berbagai hambatan regulasi agar Indonesia bisa jauh lebih menarik dibandingkan dengan produsen farmasi kelas kakap seperti Tiongkok dan India," jelas Andree dikutip dari siaran pers, Kamis (9/7).

Sektor farmasi, lanjut dia, potensial untuk digarap Indonesia lantaran berdasarkan data US Food and Drug Administration (FDA) mencatat 31% dari fasilitas produksi Active Pharmaceutical Ingredients (API) yang ada di daftar mereka berada di Tiongkok dan India.

Uni Eropa menyebut 80% dari produk obat di Eropa juga tergantung pada dua negara tersebut. Sementara itu India yang merupakan salah satu produsen utama obat generik di dunia ternyata mengimpor 70% bahan API-nya dari Tiongkok.

Baca juga : Penguatan Modal Bank Dibutuhkan untuk Hadapi Dampak Pandemi

Oleh karenanya, Andree menyarankan pemerintah berupaya untuk menembus pasar farmasi dunia. Sebab, bila Indonesia tidak memanfaatkan momentum ini, maka kesempatan untuk menjadi bagian dari GVC sukar tercapai.

Salah satu jalan untuk bisa menangkap peluang itu ialah melalui penyederhanaan regulasi terkait urusan izin berinvestasi. Merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pertumbuhan Foreign Direct Investment per triwulan nyaris 0% sejak triwulan II 2019.

Sementara itu, data Bank Dunia juga menunjukkan sebanyak 137 perusahaan Jepang merelokasi usahanya ke Asia Tenggara pada 2017 dan hanya sepuluh perusahaan yang masuk ke Indonesia.

"Pemerintah menetapkan berbagai peraturan yang kurang cocok dengan tren GVC di farmasi. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Kekayaan Intelektual menyebut jika produk yang dipatenkan di Indonesia tidak diproduksi di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, maka paten produk tersebut bisa dicabut," imbuh Andree.

"Sementara itu, Daftar Negatif Investasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 juga tidak mengijinkan kepemilikan asing penuh untuk pabrik obat jadi di Indonesia. Hal-hal ini cenderung membatasi ruang gerak perusahaan farmasi, apalagi jika mereka ingin menempuh jalur outsourcing," sambungnya.

Baca juga : BPD dan Bank Swasta Bisa Dapat Penempatan Dana Pemerintah

Ia menambahkan, saat ini justru muncul peraturan baru yang berpotensi multitafsir. Misal, Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang perhitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk produk farmasi.  Walaupun saat ini tidak ada sanksinya, peraturan tersebut dinilai memberikan sinyal risiko pengetatan di masa mendatang bagi calon investor.

Satu perkembangan yang positif adalah adanya rencana pemberian insentif pajak hingga 300% untuk perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia dan meneruskan sampai tahap komersialisasi. 

Namun, imbuh Andree, insentif ini seolah lebih ditujukan untuk perusahaan farmasi yang melakukan kegiatan dari hulu ke hilir dan bukan untuk perusahaan yang berspesialisasi di tengah-tengah mata rantai yang hanya melakukan kegiatan produksi.

"Kebijakan yang dibuat hendaknya berwawasan lebih luas. Strategi untuk fokus pada kebutuhan domestik terlalu kecil untuk mengubah tren farmasi global. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kesehatan harus fokus pada menghubungkan perusahaan lokal dengan pasar global," ungkapnya.

Pemerintah, kata Andre, perlu meninjau ulang peraturan-peraturan menteri yang tidak sejalan dengan tren perkembangan GVC. Memaksakan produksi lokal justru dinilai menghalangi investasi asing. Pembuatan peraturan baru di sektor farmasi harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari tumpang tindih yang justru menghambat partisipasi Indonesia di dalam GVC farmasi. (OL-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat