visitaaponce.com

PLN Dapat Hilang Pendapatan Rp5 Triliun akibat PLTS

PLN Dapat Hilang Pendapatan Rp5 Triliun akibat PLTS
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta.(Antara/Aditya Pradana Putra.)

KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui program percepatan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap akan mengikis pendapatan PT Perusahaan Listrik Negara. PLN diperkirakan kehilangan potensi penerimaan hingga senilai Rp5 triliun.

Hal itu diungkapkan oleh Dirjen EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam keterangan resmi, Minggu (29/8). Dadan mengaku pihaknya telah melakukan kalkulasi soal pendapatan tersebut. Untuk mencapai angka 3,6 gigawatt produksi listrik dari PLTS atap, pihaknya memperkirakan potensi pengurangan penerimaan di PLN mencapai sekitar Rp5 triliun.

Walaupun demikian, dia menuturkan, pengurangan itu juga bisa diikuti dengan pengurangan pengeluaran lain di BUMN setrum tersebut. Pemerintah berkomitmen bahwa layanan listrik kepada konsumen harus dijaga, sekaligus pula daya belinya. Bila program pengembangan PLTS sebesar 3,6 gigawatt dapat berjalan akan terjadi pengurangan batu bara hingga 3 juta ton. Program tersebut juga dinilai dapat menyerap tenaga kerja hingga 121.000 orang serta berpotensi meningkatkan investasi hingga Rp45 triliun-Rp 63 triliun.

Pengembangan PLTS dapat pula menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,6 juta ton. Di sisi lain, hal ini juga akan mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri yang selama ini belum berkembang dengan baik.
"Itu Juga mendorong terciptanya industri yang semakin hijau, green product. Kita lihat banyak industri yang bergeser ke negara tetangga, karena di sana listriknya lebih hijau dari pada kita," lanjutnya.

Selama 3 tahun terakhir, ujarnya, skema tarif ekspor-impor net metering listrik menggunakan angka 0,65:1. Selama periode tersebut, produksi energi listrik yang dihasilkan dari PLTS atap hanya mencapai 35 megawatt dengan jumlah pelanggan sebanyak 4.000 konsumen. Pihaknya menilai bila skema tersebut masih tetap diberlakukan, penambahan jumlah produksi energi listrik dari PLTS atap dan pelanggannya tidak akan tumbuh signifikan.

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengingatkan PLN menghadapi potensi kerugian cukup besar sehingga berdampak pada turunnya pelayanan bagi konsumen. "Dengan pasokan (dari PLTS atap) ini, ada sebagian dari pembangkit PLN yang operasionalnya tidak optimal atau dikurangi. Dengan begitu, operasi dari pembangkit ini menjadi tidak efisien. Artinya di situ ada cost yang lain yang nilainya bisa mencapai triliunan," ujarnya.

Dia menyebutkan bahwa memang ada pasokan listrik yang tidak dipakai oleh PLN. Namun, lanjutnya, sarana untuk itu telah dibangun sehingga mau tidak mau pembangkit pun diberhentikan sementara. Ketika berhenti beroperasi, pembangkit tersebut menjadi tidak efisien sehingga menimbulkan biaya. Di sisi lain, perubahan skema tarif ekspor-impor net metering menjadi 1:1 akan menguntungkan pemilik PLTS atap yang umumnya merupakan golongan mampu dan merugikan PLN serta masyarakat nonpemilik PLTS atap.

Ketua Harian Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebutkan bahwa energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan yang harus diusung oleh Indonesia. Menurut dia, implementasinya sebaiknya dilakukan pada masa transisi. Alih-alih digencarkan di daerah-daerah yang sudah surplus listrik seperti Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra, Tulus menilai sebaiknya implementasi PLTS atap digencarkan di wilayah-wilayah yang minim listrik.

Baca juga: Perubahan Skema Ekspor Impor PLTS Atap Tidak Beri Nilai Tambah

"Sebetulnya PLTS oke. Tetapi saya kira komposisi skema tarif terdahulu masih cukup fair. Nanti kalau pun mau diformulasikan skema 1:1, saya kira itu lebih fair kalau mau diimplementasikan di luar Pulau Jawa yang listriknya masih sangat minim, yang perlu pembangkit-pembangkit alternatif. Kenapa dihantamkan di Pulau Jawa yang sudah surplus?” tuturnya. Apalagi, lanjutnya, pemerintah sendiri yang menyebabkan kondisi surplus listrik pada saat ini. Hal itu disebabkan pemerintah mendorong PLN untuk membangun listrik 35.000 megawatt. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat