Indonesia Diminta Realistis Wujudkan Energi Bersih
![Indonesia Diminta Realistis Wujudkan Energi Bersih](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2021/11/955d543e153d90deb5172b12fdeb55cb.jpg)
DIREKTUR Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap agar Indonesia realistis dalam upayanya menggunakan energi bersih. Jangan sampai ambisi tersebut justru menjadi pupuk permasalahan baru di masa mendatang.
"85% energi kita itu masih fosil, kalau ingin meninggalkan itu sepertinya tidak cukup logis. Dari Kemenkeu sendiri mengatakan untuk memensiunkan batu bara Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.900 triliun, sementara APBN hanya sekitar Rp2.000 triliun, kebutuhan lebih besar dari anggarannya," tuturnya kepada Media Indonesia, Kamis (4/11).
"Dengan angka itu semestinya kita sudah bisa mengukur mungkin atau tidak. Kalau bicara peluang, probabilitas itu meski hanya 0,001% ya itu mungkin. Tapi untuk apa juga kalau probabilitasnya kecil?" sambungnya.
Komaidi bilang, penggunaan energi bersih perlu dan menjadi penting. Namun menurutnya, komitmen dari pemangku kepentingan menjadi jauh lebih penting untuk mewujudkan misi tersebut.
Indonesia juga perlu memastikan upaya pengurangan energi fosil dilakukan oleh negara-negara yang telah membuat komitmen. Celaka, menurut Komaidi bila komitmen dalam forum-forum internasional hanya sekadar tutur kata semata.
"Jangan sampai hanya sekadar komitmen, tapi tidak ada implementasinya," kata dia.
Itu merujuk dari apa yang dilakukan oleh Inggris. Komaidi bilang, belum lama ini Britania Raya menyatakan menghentikan penggunaan batu bara. Namun tak selang sebulan, justru kembali memanfaatkan batu bara karena melonjaknya tarif listrik.
Hal itu menurutnya perlu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Komaidi berharap pemerintah tak gegabah mendorong penggunaan energi bersih dan meninggalkan energi fosil.
Terlebih, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Peraturan Presiden 22/2017 diperkirakan konsumsi minyak akan mencapai 4 juta barel per hari. Angka itu justru melonjak dari konsumsi minyak yang saat ini hanya 1,5 juta barel per hari.
Baca juga : ESDM : Pembiayaan ADB Bakal Percepat Pensiunkan PLTU Batu Bara
"Jadi penggunaan energi bersih secara bertahap itu wajar. Tapi kalau kemudian dipercepat dan kemudian ingin menjadi yang paling depan, saya rasa ada risiko ekonomi dan fiskal di sana," kata Komaidi.
Menurutnya, Indonesia tak bisa serta merta meninggalkan energi fosil. Selain tercantum dalam RUEN, ketergantungan Indonesia akan energi fosil sejatinya juga tercermin dalam Paris Agreement. Sebab, Indonesia berkomitmen menggunakan energi bersih hingga 23% di 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
Persentase itu menurut Komaidi menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada energi fosil. Pasalnya, bila komitmen dengan upaya sendiri itu tercapai, Indonesia masih bergantung pada energi fosil hingga 77% dari total penggunaan energi.
"Jadi seolah-olah yang 77% ditiadakan, tidak diberikan perhatian, tapi yang 23% dipuji-puji. Padahal kita masih bergantung pada yang 77% itu. Saya kira ada kampanye yang tidak proporsional dalam beberapa waktu terakhir. Modusnya apa saya tidak paham, yang paham mereka yang melakukan kampanye," jelas Komaidi.
Sementara itu pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menuturkan, keputusan dan kesepakatan yang dibuat dalam forum Conference of The Parties (COP) kerap sukar untuk dicapai oleh banyak negara. Itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari tiap-tiap negara.
"USA dan Masyarakat Eropa selalu berbeda dalam penerapan program untuk pengendalian perubahan iklim. Tiongkok dan Inggris kembali menggunakan energi fosil pada saat negaranya dilanda krisis energi," kata dia.
Belum lagi sebut Fahmy, negara-negara dengan ekonomi besar kerap bertentangan pendapat dengan negara-negara berkembang. Program B100 misalnya, ditolak dan ditentang oleh negara-negara Eropa lantaran re-planting tanaman sawit membutuhkan pembabatan hutan.
Padahal penggunaan B100 disebut Fahmy juga merupakan wujud komitmen Indonesia menerapkan energi bersih. Karena gejolak dan kemampuan, Indonesia dinilai perlu realistis menerapkan transisi energi bersih.
"Indonesia realistis saja tanpa harus memaksakan kehendak dalam proses penggantian fosil menjadi EBT sesuai kemampuan. Dalam kondisi tersebut, Indensia tetap saja konsisten dalam pengambangan B100 untuk menggantikan energi fosil," pungkas Fahmy. (OL-7)
Terkini Lainnya
Dewan Energi Nasional dan PT ThorCon Power Indonesia Gelar FGD Penyusunan Proposal PLTN Pertama di Indonesia
Kaji Ulang Wacana Revisi Target Energi Terbarukan
Borong 6 Penghargaan, Jatim Juara Umum Anugerah DEN 2023
DEN: Cadangan Penyangga Energi RI Butuh Dana Rp50 Triliun
Revisi Permen PLTS Atap Berpotensi Dorong Masyarakat Keluar dari Jaringan PLN
Pj Gubernur Dukung Pembangunan PLTN di Babel
Depok Siapkan Fasilitas Pengolahan Sampah Jadi Sumber Energi di TPA Cipayung
Peringati Hari Bumi, IESR Gelar Festival Energi Terbarukan
Sampah APK Pemilu 2024 di Jakarta akan Diolah Jadi Bahan Bakar Alternatif
Warga Desa Mundu Klaten Kembangkan Arisan Biogas Sebagai Energi Alternatif
Dukung G20, Dua Perusahaan Teken Kontrak Penyediaan Modul Surya
Kopi Kenangan Operasikan Gerai dengan Energi Solar Panel
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap