visitaaponce.com

Pemerintah Diingatkan Soal Potensi Jebakan Utang di Proyek KCJB

Pemerintah Diingatkan Soal Potensi Jebakan Utang di Proyek KCJB
Pekerja mengoperasikan kereta khusus untuk memasang rel di Depo Kereta Cepat Jakarta Bandung di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.(ANTARA/Raisan Al Farisi)

NASIB megaproyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), yang nasibnya berada di tangan PT. Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) itu, kini mengalami penundaan yang salah satunya disebabkan kendala teknis dan biaya. Biaya konstruksi yang semula ditetapkan sebesar US$6 miliar (Rp86,5 triliun) telah membengkak menjadi US$8 miliar (Rp114 triliun).

"Dengan total anggaran Rp114.2 triliun maka sampai 30 tahun pun beban utang masih ditanggung pemerintah," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Selasa (10/5).

Menurut dia, meskipun konsorsium yang menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun akan terdapat risiko kontijensi, yaitu risiko yang muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.

Baca juga: Rel Kereta Cepat Jakarta-Bandung Mulai Dipasang 

"Risiko jebakan utang atau debt trap pun berisiko akan muncul pada saat cashflow BUMN terganggu akibat beban utang yang tinggi sehingga meminta bailout dari APBN," ujarnya. 

Bhima mengatakan, dalam megaproyek itu, terdapat risiko jebakan utang yang seolah samar ke beban keuangan negara. Guna menekan resiko itu, pemanfaatan kereta cepat ini atau utilitasnya harus maksimal. 

Kemudian moda transportasi harus terintegrasi sehingga pemasukan dari penumpang bisa membantu operasional. Yang paling berisiko kalau biaya operasional saja perlu disubsidi negara dalam jumlah besar. 

"Pemerintah juga disarankan melakukan renegosiasi utang secara menyeluruh untuk menurunkan beban biaya bunga, termasuk utang konsorsium BUMN. Karena terjadi cost overun yang tidak sesuai perencanaan maka pembiayaan pun harusnya bisa dirombak," paparnya.

Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio mengatakan kondisi proyek KCJB ini masih berjalan, tetapi tertatih-tatih, yang disebabkan cost overun atau penambahan biaya yang terus meningkat. Belum lagi timbulnya beberapa permasalahan konstruksi dan sistem signaling yang menggunakan teknologi selular.

Proyek KCJB di Januari 2022 sudah mencapai hampir 80%, kata dia, namun saat ini dikhawatirkan terhenti. 

Padahal pemerintah menargetkan akhir 2022 sudah dapat dilakukan uji coba dan pada pertengahan 2023 sudah bisa beroperasi.

"Ini sesuai laporan manajemen ke Presiden Jokowi saat berkunjung ke lapangan pada 17 Januari 2022. Dengan dua persoalan tersebut dan beberapa persoalan minor lainnya, saya pesimistis KCJB dapat beroperasi di pertengahan 2023. Apalagi cost overrun yang dibebankan kepada APBN terus meningkat," jelasnya.

Pemerintah Indonesia tengah menunggu hasil audit BPKP untuk menentukan apakah kelak akan dibutuhkan kembali suntikan dari negara dari yang sudah dikucurkan sebesar Rp4,3 triliun melalui PT KAI ditambah Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT. Waskita Karya sebesar Rp7,9 triliun.

Pada awalnya, pihak Jepang menawarkan skema kompetitif dengan biaya proyek US$6,2 miliar atau hampir Rp88 triliun (lebih tinggi Rp 1,5 triliun dari rencana dengan Tiongkok). 

Biaya tersebut ditanggung 75% oleh pihak Jepang yang bernilai Rp66 triliun di kurs Rp14,200, bunga 0,1%/tahun pada tenor 40 tahun, plus akan menanggung biaya tambahan yang berpotensi muncul di kemudian hari, tentu dengan adanya jaminan pemerintah. 

Pihak Tiongkok tidak mensyaratkan jaminan pemerintah plus porsi Indonesia cost structure lebih besar yaitu 60%. Seolah kelak nantinya pembagian untung Indonesia lebih besar. Iming-iming ini yang menyebabkan pemerintah Indonesia lebih menyukai tawaran Tiongkok. 

Ditambah tentunya bunga pinjaman 2% dari China Development Bank (CDB), angka yang jauh dari bunga 0,1% tawaran Jepang sebelumnya. 

Jika pemerintah mengambil tawaran Jepang, Indonesia akan menanggung 25% biaya KCJB dengan bunga lebih rendah dari total 75% pinjaman Jepang, mungkin Indonesia hanya menanggung biaya Rp22 triliun tersebut secara flat tanpa menanggung berbagai risiko pembengkakan. 

Hingga saat ini saja, Indonesia sudah menanggung selisih Rp27,5 triliun karena terdapat kenaikan dari rencana awal Rp86,5 triliun menjadi Rp114 triliun, apakah ini di luar porsi cost structure 60% awal sekitar Rp52 triliun. (RO/OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat