visitaaponce.com

Survei Ungkap 56,4 Responden Masih Sulit Dapatkan Minyak Goreng

Survei Ungkap 56,4% Responden Masih Sulit Dapatkan Minyak Goreng
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.(Foto/Courtesy Youtube)

HAIL survei Lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan setelah ada langkah kejaksaan agung yang menguak kasus korupsi pemberian fasilitas minyak goreng, dan diumumkan pelarangan ekspor oleh pemerintah, tingkat kesulitan mendapatkan minyak goreng menurun menjadi 56,4% pada periode survei pada  5-10 Mei 2022.

Sementara itui, pada periode 20-25 April 2022, tingkat kesulitan mendapat sebesar 74,9%.Sedangkan pada 14-19 April yang sebesar 83,7% responden yang mengaku sulit mendapatkan minyak goreng.

Dari 56,4% yang masih kesulitan mendapatkan minyak goreng mengatakan akibat harganya yang masih kurang terjangkau (64%), kemudian terkait ketersediaannya (34,3%).

Terkait harga minyak goreng, sebanyak 53,8% responden mengatakan harganya kurang terjangkau, 19% mengatakan tidak terjangkau sama sekali, dan 23% merasa harganya terjangkau.

"Jadi tingkat kesulitannya menurun, tetapi dari sisi harga masih di luar keterjangkauan rakyat," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, dalam webinar Drama Minyak Goreng dan Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Presiden, Minggu (15/5).

Survei dilakukan pada 5-10 Mei, beberapa hari setelah lebaran untuk memotret gambaran mutakhir, terutama setelah banyak keberatan dilakukan oleh pemerintah, apakah bisa mengembalikan approval rating yang sempat turun ataukah tidak.

Baca juga: Korupsi Minyak Goreng, Kejagung Periksa Dua Fasilitator Kemendag

Dari hasil survei, sebanyak 59,1% responden menjawab yakin dan 9,6% sangat yakin bahwa jaksa agung akan menuntaskan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng. Responden pun cukup percaya (52,9%) hakim akan menjatuhkan secara adil dalam kasus korupsi minyak goreng.

Sebanyak 58,9 responden juga memberi dukungan atas sikap Presiden Jokowi yang mendukung kejaksaan agung untuk membongkar dan mengusut mafia minyak goreng.

 

Survei ini bukan hanya terkait isu mengenai minyak goreng atau approval rating, tetapi juga isu lain, termasuk isu pandemi, mudik, dan lebaran. Survei dilakukan melalui telepon dengan 1228 responden secara acak.

Dari hasil survei tersebut, secara umum sebanyak 31,4% responden melihat kondisi ekonomi nasional berada dalam posisi sedang, 30,3% dalam posisi baik-sangat baik, dan 36,9% menilai ekonomi nasional dalam posisi buruk-sangat buruk.

Pada penegakan hukum, hasil survei menunjukkan dalam kondisi baik sangat baik sebesar 29,1%, dalam kondisi sedang 34,6%, dan dalam kondisi buruk sangat buruk sebesar 27,8%.

Pada hasil survei terkait kepuasan akan kinerja presiden, sebesar 50,1% mengatakan cukup puas, 8% mengatakan sangat puas, 29,1% mengatakan kurang puas dan tidak puas sama sekali sebanyak 6,1%.

Kepuasan tertinggi ada pada keberhasilan membangun infrastruktur jalan, jembatan, bendungan dll (27,7%), memberi bantuan kepada rakyat kecil (12,7%), penanggulangan pandemi Covid-19 (7,9%).

Sedangkan alasan ketidakpuasan responden terhadap kinerja presiden yaitu karena harga-harga kebutuhan pokok meningkat (28,9%), bantuan tidak merata (10,7%), lapangan kerja/ pengangguran (8,4%), dan gagal menangani mafia minyak goreng (7,4%).

"Tiga teratas ada pada isu minyak goreng," kata Burhanuddin.

Dari hasil survei, sebanyak 75,4% responden menjawab memakai minyak goreng kemasan, kemudian 20,7% mengaku memakai minyak goreng curah.

Mereka mendapatkan minyak goreng untuk kebutuhan sehari-hari dari warung sekitar tempat tinggal (47,1%), mini market (30,8%), dan pasar basah/ tradisional (13,7%).

Rata-rata harga per liter yang mereka beli yaitu pada kisaran Rp25.000-Rp29.000 per liter (32,5%) untuk minyak goreng kemasan, dan 10,2% untuk minyak goreng curah. Lalu pada harga Rp20.000-Rp24.999 sebanyak 26% untuk minyak goreng kemasan dan 30,7% untuk minyak goreng curah.

Terkait bantuan langsung tunai minyak goreng, 54,9% mengetahui kebijakan tersebut, dan 60,7% setuju dengan kebijakan tersebut.

Tetapi baru 36,3% yang mengaku menerima BLT minyak goreng. Banyak yang tahu, tetapi tidak menerimanya.

"Di mata publik larangan ekspor minyak goreng belum berhasil menurunkan harga minyak goreng sesuai dengan ekspektasi mereka. Tentu ada penurunan harga dibandingkan sebelum ada pelarangan ekspor, tetapi masih jauh dari harga yang diinginkan publik," jelasnya.

"Meski 89,5% setuju sangat setuju dengan kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng yang berupa dukungan normatif, sebenarnya publik tidak terlalu peduli apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah, sepanjang bisa mengembalikan harga minyak goreng mendekati sebelum terjadi kelangkaan," kata Burhanuddin.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan, pemerintah agar secepatnya menurunkan harga bahan pokok. Saat ini, isu terbesar yang dirasakan masyarakat yaitu kenaikan harga bahan pokok dan energi, termasuk minyak goreng dan BBM. Sebab, kenaikan harga tidak sejalan dengan ketersedian lapangan kerja.

"Yang paling terkena dampak di masyarakat yang mepet garis kemiskinan penghasilan Rp1-2 juta (per bulan)," kata Bhima.

Bhima menyebut, Pemerintah memang bisa menjaga stabilnya harga beras. Namun, ternyata hal itu tak mampu menopang perekonomian rakyat.

"Harga beras stabil, tapi masyarakat terimbas naiknya PPN, dan harga minyak goreng," ujar Bhima.

Bhima juga mengingatkan, Pemerintah agar tak mengorbankan anggaran belanja kesehatan karena Covid-19 melandai untuk menurunkan harga minyak goreng. Dia pun pesimis, bahwa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang baru-baru ini dikucurkan pemerintah akan mendapat hasil positif.

"Kalau harga bahan pokok tidak segera diselesaikan, maka tidak akan selesai masalah. Karena BLT tidak menjawab masalah, tidak mungkin semua tercover BLT migor. Kalau diberikan ke PKL maka tidak mungkin cover jutaan PKL di sektor makanan dan minuman," tegas Bhima.

Bhima mengkritisi, terus bergantinya kebijakan minyak goreng sampai akhirnya pemerintah melarang ekspor CPO, tak juga kunjung memperbaiki harga minyak goreng.

"Minyak goreng itu pasca-pelarangan CPO harga tidak turun dari rata-rata Rp23.000-Rp 24.500. Justru harga naik secara rata-rata di migor kemasan," ujar Bhima.

Bhima pun meyakini, pengawasan minyak goreng curah terbilang sulit bila Pemerintah menggelontorkan subsidi kesana. Kemudian petani sawit mengalami kesusahan akibat pelarangan ekspor.

"Kebijakan populis (pelarangan ekspor), tapi tidak berpengaruh sama sekali. Justru harga jual sawit di petani sawit swadaya turun tapi ketika mau beli minyak goreng harga barangnya naik," ucap Bhima. (Try/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat