visitaaponce.com

Rasio Utang Indonesia Dinilai Lebih Baik dari Negara Lain

Rasio Utang Indonesia Dinilai Lebih Baik dari Negara Lain
Pedagang menawarkan barang dagangannya kepada pengunjung di Pasar Terapung Sungai Martapura, Banjarmasin.(Antara)

GUNCANGAN ekonomi global akibat pandemi covid-19 dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina membuat sejumlah negara berada di tepi jurang krisis. Kompleksitas perekonomian dunia turut meningkatkan rasio utang luar negeri sejumlah negara berkembang. 

"Ketidakpastian ini (dirasakan) mulai dari peningkatan utang di negara berkembang. Akibat pandemi covid-19, lebih dari 30 negara memiliki utang di atas 100% (dari PDB)," ungkap Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (2/8).

Namun, ekonomi Indonesia dinilai masih memiliki daya tahan yang cukup kuat. Pasalnya, beberapa indikator eksternal justru menunjukkan tren penguatan. Seperti, neraca perdagangan nasional terus mencatatkan surplus, yakni mendekati US$25 miliar per Juni 2022.

Selain itu, cadangan devisa Indonesia berada di posisi yang kuat, yakni US$136,4 miliar, atau setara dengan biaya impor selama enam bulan. Kemudian, di tengah peningkatan utang luar negeri sejumlah negara, Indonesia justru mengalami penurunan.

Dari data Kemenko Perekonomian, posisi rasio utang luar negeri Indonesia hingga Mei 2022 berada di level cukup baik, yakni 32,3% terhadap PDB. Posisi tersebut bahkan lebih rendah dari prapandemi covid-19 di 2019, yakni 36,07% terhadap PDB.

Rasio utang luar negeri naik ketika pandemi merebak pada 2020 ke level 39,31% terhadap PDB. Lalu, mengalami penurunan di 2021 ke level 35% terhadap PDB. "Rasio utang luar negeri Indonesia menurun. Sampai Mei 2022, rasio utang luar negeri berada di kisaran 32,3% terhadap PDB," imbuh Airlangga.

Menurutnya, kondisi utang negara berkembang turut diperburuk langkah pengetatan likuiditas bank sentral sejumlah negara maju, utamanya The Fed. Kebijakan menaikkan suku bunga acuan telah berdampak pada peningkatan beban bunga utang.

Awalnya, penaikan suku bunga acuan bertujuan menjaga dan mengendalikan tingkat inflasi yang melonjak akibat dampak perang dua negara Eropa Timur. Alih-alih menemukan titik stabilitas, pengetatan moneter yang tergesa-gesa justru menambah keruwetan persoalan ekonomi.

"Dengan kenaikan suku bunga Amerika Serikat, potensi mereka (negara berkembang) untuk membayar utang jadi bermasalah. Tentu juga ada akibat covid-19, yang menyebabkan disrupsi rantai pasok global. Dibandingkan berbagai negara, kita di posisi relatif lebih sehat," pungkasnya.(OL-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat