visitaaponce.com

Ruang Inklusif untuk Kaum Difabel

Ruang Inklusif untuk Kaum Difabel
Kegiatan crafting (atas) bandoo gardena (bawah).(Dok. Puka)

PADA 2015, Dessy Nur Anisa Rahma tengah menempuh studi magisternya di ITB, dengan fokus kewirausahaan kreatif dan budaya. Di sela kuliahnya, ia mencoba membuat tas laptop dari karung goni dan sulaman. Teman-temannya di kampus ternyata tertarik dan ingin mengoleksi produk yang digunakan Dessy.

Dessy akhirnya membuat sekitar tiga tas laptop dengan modal Rp300 ribu. Dari situ ia mencoba mulai menyeriusi bisnisnya, termasuk membuat berbagai produk lain, seperti tempat pensil. Produk-produk yang dibuatnya itu kemudian ia pajang di Instagram.

“Saat 2015, Instagram masih sepi penggunanya. Jadi, ya, pasarnya juga terbatas. Dulu juga sudah ada lokapasar digital, tapi kayaknya spesifikasinya lebih ke produk-produk otomotif. Jarang ada produk fesyen. Jadi, fokus di Instagram,” kata Dessy kepada Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (27/12).

Lantaran kala itu fitur iklan Instagram belum hadir, salah satu cara Dessy menggaet pelanggan ialah melakukan bombardir klik suka pada unggahan-unggahan pengguna aplikasi tersebut.

“Jadi, aku buka akun kompetitor. Lalu lihat para pengikutnya siapa aja, diklik satu-satu. Kalau menurutku cocok dengan target produk aku, aku akan kunjungi profilnya dan melakukan spam like,” kata Dessy.

Strategi itu rupanya cukup berhasil. Akun produknya, Puka (@puka_id) mulai ramai pengikut. Dessy pun mulai memproduksi lebih banyak aksesori. Di tengah mulai ramainya pesanan itulah, ia mencari pekerja yang bisa mengerjakan produk-produk kerajinan aksesori dan suvenir. Ia dipertemukan dengan salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Garut, dekat tempat tinggalnya kala itu.

“Di SLB itu, 70% kegiatan siswanya itu vokasional dan banyak sekali, mulai tata rias, memasak, pertukangan, hingga kriya. Lalu oleh guru mereka, diajaklah murid-murid tuli dan tunadaksa untuk ikut mengerjakan produk Puka. Karena saya enggak memiliki ilmu mendampingi siswa SLB, jadi tetap bersama guru mereka. Ternyata produk buatan teman-teman di SLB itu diminati juga oleh banyak orang,” kata Dessy.

“Dari yang semula memang cuma profit oriented, tetapi saat bekerja sama dengan teman-teman difabel berubah fokusnya. Menjadi bisnis sosial yang memiliki dampak ke kelompok berkebutuhan khusus,” lanjut Dessy, yang mulai bekerja sama dengan teman difabel sejak awal 2016.

Saat ini, dalam sebulan Puka memproduksi sekitar 1.000 item produk dengan skala omzet Rp35 jutaan. Selain SLB di Garut, Puka kini bekerja sama dengan salah satu SLB di Bandung dan beberapa teman difabel usia kerja non-SLB yang berasal dari dinas sosial serta komunitas down syndrom.

“Dulu, dibayarnya per item produk yang bisa dikerjakan. Sekarang sistemnya harian. Jadi, sehari bisa kerjakan berapa item. Untuk kuantitasnya pun, saya tidak bisa memaksakan batas minimal produk yang bisa dikerjakan teman-teman difabel,” terang Dessy.

 

Endorsement dan iklan

Ketika akun Instagram Puka sudah mulai berkembang, strategi selanjutnya ialah endorsement ke beberapa akun selegbram dengan jumlah pengikut besar. Strategi itu, kata Dessy, cukup berdampak, baik pada sisi penjualan maupun jumlah pengikut Puka di platform tersebut.

Namun, setelah jamak fitur iklan, metode endorsement mulai ditinggalkan Puka karena kurang relevan. Dengan pemanfaatan iklan media sosial, mereka bisa lebih optimal.

“Untuk bujet marketing itu sekitar Rp6 juta, masih dibagi-bagi. Dengan memanfaatkan iklan, baik pengunjung maupun pembeli Puka naik signifikan, bahkan sampai 70%,” kata Dessy. Saat ini, Instagram Puka sudah mendapat pengikut sekitar 17,5 ribu.

Untuk mengerjakan konten kreatif, Puka biasanya menggunakan jasa pekerja lepas dan pekerja magang. Investasi lain, seperti studio maupun peralatan untuk memproduksi konten, tidak begitu banyak dikeluarkan. Dessy mengaku di tempat produksinya saat ini di Bandung, sudah ada ruangan studio yang biasa dimanfaatkan. Untuk foto produk, mereka hanya mengandalkan kamera ponsel dengan tambahan berbagai aksesori sebagai latar foto.

“Bujetnya, ya, dialokasikan untuk pekerja professional, baik pemagang maupun pekerja lepas.”

Puka memang lebih laris di lokapasar digital. Namun, belakangan, sejak badai pandemi covid-19 mereda dan semakin seringnya baik pameran maupun bazar berlangsung, mereka juga mendapat banyak keuntungan dari pasar luring. Secara proporsi, penjualan pun saat ini secara luring lebih bisa diandalkan.

Ia juga memiliki catatan terkait dengan pameran atau bazar luring. Dari pengalaman Dessy bersama Puka, ia bisa mendapat lebih banyak cuan saat mengikuti beberapa pameran berbayar yang diadakan swasta. Sebaliknya, ketika ikut pameran dari instansi pemerintah, meski gratis, itu tidak banyak mendatangkan pembeli.

“Sepertinya pemerintah harus ngerti caranya mengadakan bazar atau pameran seperti penyelenggara swasta. Soalnya banyak dari bazar yang kami ikuti kebanyakan yang mendatangkan pembeli adalah yang dari swasta dan berbayar.”

Puka di Localfest. Dok. Puka

 

Peran lebih

Saat ini pekerja difabel di Puka masih berada di departemen produksi. Namun, kelak Dessy juga ingin mengajak mereka lebih berperan di departemen yang lebih kompleks, seperti bagian manajemen atau penjualan.

Selain bekerja sama dengan dua sekolah SLB di Garut dan Bandung, Puka memiliki perajin aksesori dan suvenir usia kerja. Dalam prosesnya, Dessy dan tim banyak beradaptasi dengan teman-teman pekerja difabel.

“Bekerja dengan teman-teman difabel tentu ada seru dan sedihnya. Seru karena ternyata ini bisa turut memberikan kesempatan ke mereka. Namun, tentu ada tantangan, seperti ketika mengajari teman tunagrahita, kami harus lebih sabar dan berkali-kali. Harapan kami tentu bisa memberikan ruang yang lebih luas ke teman difabel pada waktu mendatang.” (M-3)

 

Biodata

Puka (Pulas Katumbiri)

Berdiri: 2015

Produk: Aksesori dan suvenir perempuan

Instagram: @puka_id

Pendiri dan CEO: Dessy Nur Anisa Rahma

Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 24 Desember 1992

 

Pendidikan

S-1 Manajemen Universitas Padjadjaran, Bandung

S-2 Kewirausahaan Kreatif dan Budaya ITB, Bandung

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat