visitaaponce.com

Tidak Efektif, Subisi Pupuk Harus Dievaluasi

Tidak Efektif, Subisi Pupuk Harus Dievaluasi
Para petani di Pidie, Aceh, memanen padi.(MI/Amir MR)

Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi program pupuk bersubsidi karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, terutama saja beras.

Pupuk menjadi komoditas non energi yang menyerap anggaran subsidi terbesar dengan rata-rata tahunan mencapai Rp31,53 triliun di periode 2015-2020. Oleh akrena itu, diperlukan reformasi kebijakan pupuk nasional secara menyeluruh, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.

"Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman," jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir melalui keterangan resmi, Kamis (16/3).

Baca juga: Pupuk Indonesia Salurkan 1,42 Juta Ton Pupuk Bersubsidi Hingga

Penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Angka sementara produksi padi 2021 juga hanya 55,27 juta ton GKG. Itu menunjukkan bahwa target yang disasar sejak 2020 tidak tercapai.

Selain itu, mekanisme subsidi pupuk yang diberikan kepada perusahaan produsen pupuk tidak efektif karena komponen pembiayaan subsidi tidak hanya dari produksi, tapi biaya-biaya lain yang juga dibebankan pada anggaran subsidi pupuk.

Baca juga: Bulog Sulsel dan Sulbar Mengaku Kalah Harga dari Tengkulak

“Idealnya, subsidi pupuk diberikan sebagai cash assistant langsung ke petani melalui Kartu Tani, sehingga petani dapat memiliki lebih banyak pilihan bibit dan pupuk yang digunakan,” tuturnya.

Kebijakan input pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada 2024. Padahal, perlu dilakukan reformasi bantuan untuk mencegah perverse incentive, mendorong kompetisi, dan pada akhirnya mendukung kemandirian usaha tani.

Meski demikian, adopsi Kartu Tani oleh petani masih jauh dari target. Berdasarkan penelitian CIPS, pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu atau 66,91% dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK. Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu. Sedangkan, yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu atau 8,63%.

"Kebijakan input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat bahwa pupuk bersubsidi adalah instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas," jelas Faisol.

Untuk jangka panjang, lanjutnya, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator kelulusan seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi.

Namun mekanisme evaluasi itu harus didukung data pertanian yang akurat yang selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani. Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar.

Terkait kelangkaan, konflik Rusia-Ukraina turut mempengaruhi. Sebagai penghasil gas alam dan potash, Rusia juga merupakan produsen pupuk yang cukup besar. Konflik antara keduanya, terutama setelah sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat ke Rusia, akan mengakibatkan terganggunya suplai bahan makanan dan energi.

Sebelum perang pecah antara kedua negara, ketahanan pangan global sudah dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti pandemi covid-19 dan perubahan iklim, yang menyebabkan penurunan jumlah produksi dan ketidakpastian musim tanam.

"Perubahan iklim telah memengaruhi perubahan cuaca yang tidak menentu, peningkatan suhu udara dan kekeringan. Tiga hal tadi sudah berkontribusi pada melemahnya ketahanan pangan. Kondisi ini juga mempersulit petani dalam menentukan waktu tanam yang tepat, mengakibatkan gagal panen dan kelangkaan pangan di waktu mendatang," tandasnya. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat