visitaaponce.com

IHSG Tidak Mampu ke Zona Hijau, Rupiah Nyaris Tembus Rp15 Ribu per Dolar AS

IHSG Tidak Mampu ke Zona Hijau, Rupiah Nyaris Tembus Rp15 Ribu per Dolar AS
Ilustrasi(Freepik)

INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Rabu (15/5) ditutup pada level 6.633,26 melemah tipis 0,05%. Indeks sempat merosot cukup dalam pada kisaran 6.562,96 (-1,11%), namun tidak mampu untuk kembali ke zona hijau.

Hal itu terjadi di masa perdagangan bursa yang pendek, selama 3 hari karena ada libur Hari Lahir Pancasila dan cuti bersama Hari Raya Waisak 2567 BE.

Dari analisis pakar, IHSG yang tidak mampu ke zona hijau dikarenakan sejumlah sentimen domestik dan eksternal. Dari faktor domestik, terdapat faktor sentimen jumlah uang beredar M2 dan rebalancing indeks MSCI.

Baca juga : RUPST Medco Setujui Pembagian Dividen 2022 Total Rp974,94 Miliar

Sementara itu sentimen eksternal tetap berasal dari kepastian kesepakatan antara kubu Republik di Kongres dengan pemerintah Amerika terkait peningkatan plafon utang/ debt ceiling, indeks harga rumah, indeks keyakinan konsumen dan data manufaktur serta perkembangan harga komoditas.

Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Mino menjelaskan ada dua sentimen negatif yang membuat IHSG masih belum bangkit dari zona koreksi yakni ketidakpastian debt ceiling di Amerika, meski telah ada kesepakatan tentatif, dan berlanjutnya penurunan harga komoditas.

Baca juga : Turis Asing Pakai Kripto di Bali Bisa Dideportasi

"Ketidakpastian pagu utang kembali membuat investor khawatir akan prospek ekonomi Amerika. Ketidakpastian ini juga membuat imbal hasil obligasi pemerintah Amerika naik, dolar AS juga melanjutkan penguatanya,” kata Mino.

Ketidakpastian di Amerika dikhawatirkan akan berimbas pada penurunan permintaan komoditas. Ketidakpastian itu juga membuat nilai tukar dolar terhadap mata uang utama terus menguat sehingga memberikan tambahan tekanan di pasar komoditas.

Sementara itu sentimen positif yang menjaga IHSG tidak kian tergerus yakni dipertahankannya suku bunga acuan, kredit tetap tumbuh meski lebih lambat, kembali surplusnya neraca transaksi berjalan, berlanjutnya aksi beli investor asing dan rapat dewan gubernur bank sentral AS atau FOMC Minutes yang mengindikasikan tidak adanya kenaikan suku bunga bank sentral AS pada bulan Juni.

"Sentimen positif dari domestik yakni Bank Indonesia yang untuk keempat kalinya secara berturut-turut mempertahankan BI7DRR di level 5,75%,” kata Mino.

Nyaris

Sementara itu nilai tukar rupiah ditutup pada level 14.998 per dolar AS, melemah 38 poin dari pembukaannya pada level 14.950 per dolar AS. Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan dengan indek dolar yang terus menguat, fokus investor kemungkinan akan bergeser dari plafon utang ke data pasar tenaga AS pada akhir, yang dapat memperkuat prospek kenaikan Federal Reserve lebih lanjut bulan depan.

Data yang dirilis Rabu pagi menunjukkan aktivitas manufaktur China menyusut untuk bulan kedua berturut-turut di bulan Mei, dan pada kecepatan yang lebih tajam dari bulan sebelumnya.

Sektor manufaktur merupakan pendorong utama pertumbuhan lokal. Ini artinya pertumbuhan aktivitas bisnis secara keseluruhan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu juga berkontraksi, menghantam sentimen risiko yang menguntungkan dolar AS sebagai tempat berlindung yang aman.

RUU untuk menangguhkan US$31,4 triliun plafon utang naik selasa malam waktu setempat ketika Komite Aturan DPR yang dikontrol Republik memberikan suara 7-6 untuk memajukannya ke lantai Dewan Perwakilan Rakyat untuk pemungutan suara pada hari Rabu.

Anggota parlemen akan memberikan suara minggu ini untuk meloloskan RUU bipartisan untuk menaikkan plafon utang dan mencegah krisis ekonomi. Tetapi beberapa anggota parlemen dari Partai Republik dan Demokrat telah mengisyaratkan ketidakpuasan dengan RUU tersebut, dan berencana untuk memberikan suara menentangnya di Kongres.

“Ini membuat AS menjadi bencana. gagal bayar lebih kecil kemungkinannya, tetapi juga dapat mendorong Federal Reserve untuk terus menaikkan suku bunga karena inflasi tetap tinggi, yang selanjutnya membantu dolar AS,” kata Ibrahim.

Inflasi

Wakil Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan penguatan dolar AS memang akan berdampak pada kenaikan harga barang/jasa impor, sehingga berdampak pada inflasi kebutuhan pokok impor, kenaikan beban produksi manufaktur & penurunan daya beli dan produktifitas ekonomi secara keseluruhan.

“Kecuali di sektor-sektor komoditas mentah,” kata Shinta, saat dihubungi, Selasa (30/5).

Terkait apakah kenaikan tersebut akan mempengaruhi harga jual di pasar, tergantung pada berapa lama kondisi pelemahan rupiah akan terjadi. Semakin lama kondisi pelemahan ini berlangsung, efeknya terhadap perubahan harga pasar akan semakin besar.

“Tapi kami perkirakan BI punya cukup ruang kebijakan untuk menciptakan stabilitas nilai tukar dalam waktu dekat (1-2 bulan atau lebih cepat). Dengan begitu, risiko kenaikan harga dan inflasi bisa diminimalisir,” kata Shinta.

Untuk pelaku usaha, tidak ada yang bisa diantisipasi, karena ini tidak bisa diprediksi. Lagipula karena salah satu efek dari fenomena ini adalah kenaikan beban biaya produksi, hal paling rasional yang dilakukan pelaku usaha adalah menciptakan efisiensi beban produksi yang lebih tinggi, tidak tertutup kemungkinan menghentikan sebagian kapasitas produksi sementara hingga beban produksi lebih terjangkau & pasar lebih mendukung.

“Selain itu, ada juga kecenderungan “keeping the dollar” untuk menghindari biaya konversi & menjaga stabilitas cashflow. Di luar itu tidak banyak yang bisa dilakukan karena subtitusi impor ke produksi domestik untuk sebagai alternatif supply pasca kenaikan harga impor juga tidak selalu bisa dilakukan karena kualifikasi supply yang dibutuhkan belum tentu dipenuhi oleh supply dalam negeri,” kata Shinta. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat