Melambat, Bank Dunia Koreksi Pertumbuhan Ekonomi Menjadi 2,1 pada 2023
![Melambat, Bank Dunia Koreksi Pertumbuhan Ekonomi Menjadi 2,1% pada 2023](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/06/2d30ff7ddbf358fc00f22b492b9996fe.jpeg)
PERTUMBUHAN ekonomi global telah melambat tajam dan risiko tekanan keuangan di pasar negara dan ekonomi negara berkembang semakin meningkat di tengah kenaikan suku bunga global, menurut laporan Prospek Ekonomi Global terbaru dari Bank Dunia.
Pertumbuhan global diproyeksikan melambat dari 3,1% pada 2022 menjadi 2,1% pada 2023. Di pasar negara berkembang selain Tiongkok, pertumbuhan diperkirakan melambat menjadi 2,9 persen tahun ini dari 4,1% di tahun lalu. Prakiraan ini mencerminkan penurunan peringkat berbasis luas.
“Cara paling pasti untuk mengurangi kemiskinan dan memperluas kesejahteraan adalah melalui lapangan kerja. Sedangkan pertumbuhan yang lebih lambat membuat penciptaan lapangan kerja jauh lebih sulit,” kata Presiden Grup Bank Dunia Ajay Banga.
Baca juga : Pemerintah Optimistis Pertumbuhan Ekonomi 2024 Capai 5,7%
Maka penting untuk diingat bahwa prakiraan pertumbuhan bukanlah takdir. Semua negara memiliki kesempatan untuk membalikkan keadaan tetapi harus dengan bekerja sama.
Sebagian besar pasar negara berkembang sejauh ini hanya mengalami dampak terbatas dari tekanan perbankan baru-baru ini di negara maju, tetapi menuju tantangan yang lebih berat.
Baca juga : Kondisi Utang Indonesia Perlu Diwaspadai
Ekonomi dunia dalam posisi genting
Dengan kondisi kredit global yang semakin ketat, satu dari setiap empat negara berkembang secara efektif kehilangan akses ke pasar obligasi internasional. Tekanan untuk negara berkembang dengan kerentanan mendasar seperti kelayakan kredit yang rendah.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi ini untuk tahun 2023 terkoreksi kurang dari setengah dari tahun lalu, membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan tambahan.
“Ekonomi dunia berada dalam posisi genting. Di luar Asia Timur dan Selatan, masih jauh dari dinamisme yang dibutuhkan untuk menghilangkan kemiskinan, melawan perubahan iklim, dan mengisi kembali sumber daya manusia," kata Indermit Gill, Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia.
Pada tahun 2023, kecepatan perdagangan akan tumbuh kurang dari sepertiga dari pada tahun-tahun sebelum pandemi. Di pasar negara ekonomi berkembang, tekanan utang meningkat karena suku bunga yang lebih tinggi.
"Kelemahan fiskal telah membuat banyak negara berpenghasilan rendah mengalami kesulitan utang. Sementara kebutuhan pembiayaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan jauh lebih besar daripada proyeksi investasi swasta yang paling optimis sekalipun," kata Indermit Gill.
Prakiraan terbaru menunjukkan guncangan pandemi yang tumpang tindih, invasi Rusia ke Ukraina, dan pelambatan tajam di tengah kondisi keuangan global yang ketat telah menyebabkan kemunduran berkelanjutan untuk pengembangan negara berkembang, yang akan bertahan di masa mendatang.
Pada akhir tahun 2024, kegiatan ekonomi di negara-negara berkembang diperkirakan sekitar 5% di bawah tingkat yang diproyeksikan menjelang pandemi. Negara-negara berpenghasilan rendah, terutama yang termiskin, mengalami kerusakan yang sangat parah.
Pada lebih dari sepertiga negara-negara tersebut, pendapatan per kapita pada tahun 2024 masih akan berada di bawah level tahun 2019. Laju pertumbuhan pendapatan yang lemah ini akan menyebabkan kemiskinan ekstrem di banyak negara berpenghasilan rendah.
“Banyak negara berkembang berjuang untuk mengatasi pertumbuhan yang lemah, inflasi yang terus-menerus tinggi, dan rekor tingkat utang. Namun bahaya baru, seperti kemungkinan limpahan yang lebih luas dari tekanan keuangan baru di negara maju, dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk bagi mereka,” kata Ayhan Kose, Wakil Kepala Ekonom Grup Bank Dunia.
Sehingga para pembuat kebijakan di negara-negara tersebut harus segera bertindak untuk mencegah penularan keuangan dan mengurangi kerentanan domestik jangka pendek..
Ekonomi Amerika melambat
Di negara maju, pertumbuhan ekonomi akan melambat dari 2,6% pada 2022 menjadi 0,7% tahun 2023 dan tetap lemah pada 2024, kata laporan Bank Dunia.
Setelah tumbuh 1,1% pada tahun 2023, ekonomi AS diperkirakan akan melambat menjadi 0,8% pada tahun 2024, terutama karena dampak kenaikan suku bunga yang tajam selama satu setengah tahun terakhir.
Di kawasan Eropa, pertumbuhan diperkirakan akan melambat menjadi 0,4% pada tahun 2023 dari 3,5% pada tahun 2022, karena efek lambat dari pengetatan kebijakan moneter dan kenaikan harga energi.
Laporan tersebut juga menawarkan analisis tentang bagaimana kenaikan suku bunga AS memengaruhi negara berkembang.
Sebagian besar kenaikan imbal hasil Treasury dua tahun selama satu setengah tahun terakhir didorong oleh ekspektasi investor terhadap kebijakan moneter AS yang hawkish untuk mengendalikan inflasi.
Menurut laporan tersebut, jenis kenaikan suku bunga khusus ini dikaitkan dengan dampak keuangan yang merugikan di negara berkembang, termasuk kemungkinan krisis keuangan yang lebih tinggi.
Selain itu, efek ini lebih terasa di negara-negara dengan kerentanan ekonomi yang lebih besar. Secara khusus, pasar perbatasan atay pasar dengan pasar keuangan yang kurang berkembang dan akses yang lebih terbatas ke modal internasional, akan cenderung mengalami kenaikan biaya pinjaman yang sangat besar.
"Misalnya, spread risiko negara di pasar perbatasan cenderung meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan di negara berkembang lainnya," kata Ayhan.
Laporan Bank Dunia ini juga memberikan penilaian komprehensif tentang tantangan kebijakan fiskal yang dihadapi ekonomi berpenghasilan rendah.
Negara-negara tersebut berada dalam kesulitan. Meningkatnya suku bunga telah menambah kemerosotan posisi fiskal mereka selama dekade terakhir. Utang publik sekarang rata-rata sekitar 70% dari PDB.
Pembayaran bunga menghabiskan bagian yang meningkat dari pendapatan pemerintah yang terbatas. Sebanyak 14 negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam, atau berisiko tinggi, kesulitan utang.
Tekanan pengeluaran telah meningkat di negara-negara ini. Guncangan yang merugikan seperti peristiwa iklim yang ekstrem dan konflik lebih cenderung membuat rumah tangga mengalami kesulitan di negara-negara berpenghasilan rendah daripada di tempat lain karena jaring pengaman sosial yang terbatas.
Rata-rata, negara-negara ini membelanjakan hanya 3% dari PDB untuk warganya yang paling rentan, jauh di bawah rata-rata 26% untuk negara berkembang. (Z-4)
Terkini Lainnya
Ekonomi dunia dalam posisi genting
Ekonomi Amerika melambat
DBS Perkirakan Rupiah masih Melemah di Kuartal III Tahun Ini
Citibank Serukan Pentingnya Pendidikan untuk Dukung Perekonomian
Pendidikan Berkualitas Unsur Penting Peningkatan Ekonomi
Industri FMCG Punya Potensi Pasar Besar di Tengah Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Wapres Inginkan Industri Asuransi Syariah Terus Bertumbuh
Menkeu: Perkuat Sinergi Tingkatkan Investasi Hijau
Menakar Outlook Tengah Tahun Perekonomian Global
Stabilitas Transisi Kekuasaan Kunci Penting Hadapi Gejolak Ekonomi Global
Microsoft Corporation Umumkan Investasi Sebesar US$ 1,7 Miliar ke Indonesia
BSI Cetak Laba Rp1,71 Triliun pada Kuartal Pertama 2024
CoRE Beri Catatan Ekonomi Indonesia di Awal Tahun
Risiko Ekonomi Meningkat, Pemerintah Diminta Hati-Hati Kelola Anggaran
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap