visitaaponce.com

CoRE Beri Catatan Ekonomi Indonesia di Awal Tahun

CoRE Beri Catatan Ekonomi Indonesia di Awal Tahun
Keramaain salah satu pusat perbelanjaan di Karawaci, Kota Tangerang,(MI/Agung Wibowo)

KONDISI ekonomi global yang tidak menentu menambah kompleksitas perekonomian Indonesia. Tingginya ketidakpastian arah ekonomi global tampaknya mulai merambat pada geliat ekonomi di dalam negeri.

Demikian catatan dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia yang disampaikan melalui diskusi daring CoRE Quarterly Review 2024 bertajuk Tantangan Ekonomi di Tengah Transisi Pemerintah, Kamis (25/4).

Direktur Riset Makroekonomi CoRE Indonesia Akbar Susamto menyoroti perihal meningkatnya beban hidup masyarakat, terutama mereka yang masuk dalam kelompok kelas menengah dan bawah.

Baca juga : Bank Indonesia akan Intervensi Valas, Tangkal Ketidakpastian Ekonomi Global

Imbas dari ketidakpastian ekonomi dunia yang merembes langsung pada kehidupan masyarakat di kelompok itu ialah naiknya kebutuhan biaya hidup. Harga-harga kebutuhan mengalami kenaikan namun tak diimbangi dengan pendapatan secara riil.

"Konsumsi rumah tangga pada triwulan I 2024 itu tumbuh terbatas. Pelemahan daya beli sudah terjadi sejak 2023, terlihat dari persentase pengeluaran rerata sebulan," kata Akbar.

Masyarakat kelas menengah dan bawah, kata dia, lebih banyak membelanjakan pendapatannya pada sektor makanan dan minuman. Itu menjadi lebih tinggi ketika harga-harga pangan mengalami kenaikan beberapa waktu yang lalu.

Baca juga : IMF Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2024 3,1 Persen

Imbasnya, kemampuan belanja masyarakat menengah ke bawah hanya terfokus pada urusan pangan. Padahal distribusi kelompok masyarakat tersebut cukup besar pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional.

Meski pemerintah telah menggelontorkan stimulus fiskal berupa bantuan sosial, itu tak sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan daya beli masyarakat. Sebabnya, bantuan itu hanya menyasar kelompok paling bawah.

"Yang agak sulit adalah kelas menengah. Mereka tertekan kondisi ekonomi, tapi tidak mendapatkan bansos. Ini penting untuk dilihat fenomenanya, karena mereka distributor terbesar dalam konsumsi rumah tangga kita, tapi mereka sering terhimpit dengan situasi ekonomi," jelas Akbar.

Baca juga : Laut Merah Buat Pasar Saham Dunia Memerah

Permasalahan juga kian pelik lantaran mereka yang berada di kelompok menengah bawah sebagian besar bekerja di sektor informal. Meski secara statistik ada perbaikan pada tingkat pengangguran terbuka, namun situasinya masih jauh di bawah dari level sebelum pandemi covid-19.

Pekerja informal umumnya menerima upah rendah. Sementara kebutuhan hidup terus mengalami kenaikan. Karenanya, tak bisa dimungkiri terjadi kecenderungan penurunan pendapatan riil di kelompok masyarakat menengah dan bawah.

"Harga-harga naik, tetapi pendapatan mereka tidak naik secepat kenaikan harga, sehingga pendapatan riil cenderung turun. Ini terjadi bukan hanya pada pekerjaan yang rendah, tapi juga di tiga sektor dengan gaji tertinggi yaitu pertambangan dan penggalian, informasi dan komunikasi, dan jasa keuangan. Jadi ada fenomena penurunan tingkat upah riil," jelas Akbar.

Baca juga : BI Diperkirakan Masih Pertahankan Tingkat Suku Bunga Acuan di Level 6,00%

Masalah kenaikan biaya hidup juga berpeluang lebih rumit jika pemerintah memutuskan untuk menaikan harga BBM maupun tarif listrik. Peluang kenaikan harga itu diketahui terbuka lantaran ada peningkatan tensi geopolitik di Timur Tengah.

Pada akhirnya, kata Akbar, itu akan mengerek tingkat inflasi menjadi lebih tinggi. Kemampuan daya beli masyarakat dikhawatirkan akan melemah. Sebab, berdasarkan historis, kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli masyarakat dalam jangka waktu yang relatif lama.

"Kenaikan inflasi akan menurunkan konsumsi masyarakat secara drastis pada 3 bulan pertama, dan baru akan pulih pada bulan ke 20. Kenaikan pertalite, misalnya, akan diikuti kenaikan harga-harga, konsumsi pada 3 bulan akan turun, dan penurunan itu akan terus berlanjut, meski pelan-pelan sampai ke bulan 20. Jadi konsekuensinya cukup panjang," tutur dia.

Keruwetan Belum Berhenti

Ruwetnya perekonomian tak berhenti di sana. Tren tingginya bunga acuan di Amerika Serikat juga memberikan dampak bagi Indonesia. Salah satu yang paling terasa ialah pelemahan rupiah lantaran investor cenderung melarikan uangnya ke aset yang aman berbentuk dolar AS.

Kondisi itu pada akhirnya mendorong Bank Indonesia untuk menaikan BI Rate ke level 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur 23-24 April 2024. Langkah ini dinilai cukup penting guna meredam pelemahan rupiah lebih dalam. Namun keputusan BI juga bukan tanpa risiko.

Direktur Riset Jasa Keuangan CoRE Indonesia Etikah Karyani mengatakan, meski dampak penaikan BI Rate tak langsung tertransmisi kepada tingkat bunga kredit perbankan, pemangku kepentingan tetap perlu mewaspadai potensi risiko pelemahan ekonomi imbas kebijakan moneter BI.

"Ketika BI naikan rate, IHSG mengalami kontraksi, kemarin sempat melemah menjadi 7145, ada penurunan 0,41%, ini karena sentimen kenaikan BI Rate. Dengan kata lain, BI Rate dapat menahan sentimen forex sale, namun pada saham-saham seperti infra, teknologi, otomotif, ini bisa meningkatkan risiko," jelas Etikah.

Dampak dari situasi ekonomi dunia saat ini juga dapat dirasakan oleh APBN sebagai instrumen fiskal negara. Jika ketidakpastian terus berada dalam level yang tinggi, besar kemungkinan defisit anggaran bisa terjadi.

"Defisit itu terjadi di Oktober tahun lalu, tahun ini mungkin akan hadir lebih cepat. Ada pengecualian ketika eskalasi konflik geopolitik Iran-Israel meningkat, ini berpotensi mengubah alur surplus atau defisit anggaran," ujar Periset CoRE Indonesia Yusuf Rendy Manilet di kesempatan yang sama.

Karenanya, pemerintah perlu mengalkulasi secara detail dan hati-hati perihal pembiayaan anggaran, terutama yang bersumber dari penarikan utang. Melemahnya nilai tukar rupiah, dan ketidakpastian dunia mesti dijadikan acuan untuk mengedepankan prinsip prudent dalam memperlebar defisit atau menambah utang.

"Yang perlu diantisipasi adalah kita saat ini masih dalam era suku bunga tinggi, cost of fund mahal. Penerbitan SUN jadi penting momentumnya karena itu berkaitan dengan imbal hasil yang ditawarkan, ini berdampak pada kebijakan fiskal menengah dan panjang. Jadi dalam jangka pendek, peningkatan suku bunga ini perlu diantisipasi dengan rancangan penerbitan SUN yang tepat di sisa akhir tahun ini," jelas Yusuf. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat