visitaaponce.com

Konsumsi Masyarakat Belum Berdampak pada Pertumbuhan Industri

Konsumsi Masyarakat Belum Berdampak pada Pertumbuhan Industri
Ilustrasi konsumsi masyarakat terhadap hasil industri pengolahan(Antara/Andri Saputra)

EKONOM Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menuturkan, tingginya pertumbuhan konsumsi masyarakat di triwulan II 2023 belum mampu mengerek sektor produksi. Hal itu tercermin dari pertumbuhan industri pengolahan yang dinilai belum mencapai titik optimumnya.

"Pemerintah sudah melakukan best effort di triwulan II. Tapi dari segi konsumsi, masih belum bisa menggerakkan ke level produksi, sektor riil ini masih belum tumbuh cukup maksimal," ujarnya dalam Kajian Tengah Tahun 2023 Indef, Selasa (7/8).

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), kata Andry, pertumbuhan industri pengolahan masih relatif terbatas, yakni 4,88% secara tahunan (year on year/yoy) dan memberi distribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 18,25%.

Baca juga : Terus Tekan Gas Rumah Kaca, Medco E&P Jual Listrik PLTU Nagan Raya Aceh

Angka pertumbuhan industri pengolahan itu berada di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II 2023 yang tercatat 5,17% (yoy). Bahkan lebih rendah dari perdagangan yang tumbuh 5,25% (yoy) dan konstruksi yang tercatat 5,23% (yoy).

"Industri pengolahan, capaiannya selalu lebih rendah, tidak hanya dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, tapi juga sektor lainnya. Ini jadi isu yang masih relevan. Ini masih menggambarkan pertumbuhan industri masih belum sesuai dengan yang kita harapkan," kata Andry.

Baca juga : Di Rapat Young Parlemen AIPA, Puan Soroti Upah Rendah bagi Pekerja Muda

Lebih jauh, dia menyampaikan, indikator yang umum digunakan untuk melihat geliat industri pengolahan ialah Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur. Bila angka PMI manufaktur berada di atas 50, maka diartikan pelaku industri optimistis mengenai prospek bisnisnya dan berpeluang ekspansi.

Namun kenyataannya, kata Andry, PMI manufaktur Indonesia yang konsisten di atas 50 tampak kontradiktif dengan laju pertumbuhan industri pengolahan secara nasional. 

"Sering kita bicara PMI yang kalau dibanding dengan indikator lainnya seperti kontradiktif. Ini perlu dikritisi," terang Andry.

"Tentu kalau kita lihat penerimaan pajak dari industri, rasio kredit, pertumbuhan PDB sektoral itu turun. Ini kontradiktif. PMI indonesia itu jauh lebih tinggi dari negara setara lainnya, tapi memang ekspektasi ini belum bisa menggambarkan kondisi industri secara agregat," tambahnya.

Dihubungi terpisah, ekonom makroekonomi dan keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai, pertumbuhan sektor produksi pada triwulan II belum mampu mengikuti pertumbuhan konsumsi masyarakat.

Menurutnya, salah satu alasan utamanya adalah masih tingginya ketidakpastian di tingkat global. Permintaan global terhadap produk dalam negeri disebut masib berada dalam tren naik turun.

"Memang dari sisi produksi ada tantangan, utamanya dari ketidakpastian global yang tinggi. Lalu dampak global itu berdampak pada nilai barang yang kita impor," kata Riefky.

"Perlu diingat bahwa 90% barang yang kita impor berhubungan langsung dengan proses produksi karena 90% ini mencakup barang input dan barang modal," lanjutnya.

Namun dia meyakini, secara natural, lambat laun geliat sektor produksi Tanah Air bakal meningkat sejalan dengan konsumsi masyarakat. 

"Jadi saya rasa nanti akan pick up sendiri. Memang ini belum mencerminkan dari sisi konsumsi yang meningkat. Perlu dilihat juga aspek produksi kita cukup baik, tapi memang belum lebih tinggi dari sisi konsumsi," pungkasnya. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat