visitaaponce.com

Kenaikan UMP Dinilai Sangat Mengecewakan

​​​​​​​Kenaikan UMP Dinilai Sangat Mengecewakan
Ilustrasi upah minimum provinsi (UMP)(Antara )

DIREKTUR Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhisthira menilai kenaikan UMP 2024 amat mengecewakan dan terlampau rendah. Hal itu menurutnya akan berimplikasi besar pada laju pertumbuhan ekonomi tahun depan.

"Sulit untuk bisa tumbuh 5% tahun depan dengan stimulus upah yang terlalu rendah. Kenaikan UMP rata rata nasional masih terlalu kecil, idealnya di atas 10% melihat tekanan inflasi pangan yang cukup berisiko menggerus daya beli," kata dia.

Bhima mengatakan, inflasi bahan pangan saat ini masih cukup tinggi dan diperkirakan tahun depan inflasi pangan yang tinggi berlanjut. Jika kenaikan upah di bawah 5%, menurutnya, para pekerja atau buruh akan gelagapan menghadapi inflasi.

Baca juga: Kenaikan UMP Rendah Imbas Formula Hitungan yang tidak Menguntungkan Pekerja

"Padahal menjaga daya beli pekerja merupakan kunci agar tahun depan ekonomi bisa lebih tahan hadapi guncangan. Karena konsumsi rumah tangga masih jadi motor pertumbuhan ekonomi yang akan diandalkan tahun 2024," ujarnya.

Mestinya, lanjut Bhima, beberapa pemda menolak formula upah minimum yang ditetapkan oleh Kemnaker. Pemprov DKI Jakarta, misalnya, memiliki kewenangan khusus dibanding daerah lainnya terkait dengan penetapan upah merujuk pada Pasal 26 UU DKI Jakarta yang masih berlaku.

Baca juga: Keluhan Warga DKI Soal UMP : Buat Hidup Lajang Saja tidak Cukup

"Selama pasal 26 masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan di mana upah merupakan komponen yang tidak terlepaskan dari kebijakan ekonomi, maka gubernur DKI bisa manfaatkan regulasi itu," kata Bhima.

"Jadi tidak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja kenapa tidak? Dengan upah yang naik lebih tinggi maka perputaran ekonomi juga makin naik, yang belanja makin banyak dan berdampak ke pendapatan daerah," sambungnya.

Berbeda dengan Tauhid dan Bhima, Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede menyatakan, secara rerata kenaikan UMP tahun depan berkisar 4% hingga 5% dari UMP tahun berjalan. Kenaikan tersebut menurutnya relatif baik untuk menjaga daya beli masyarakat.

"Itu mengingat inflasi pada tahun 2023 ini kami perkirakan sebesar 2,89%. Dengan demikian UMP dapat mengimbangi kenaikan harga-harga secara umum di masyarakat," kata Josua.

Selain itu, dia juga menilai kenaikan UMP di banyak provinsi sudah sesuai dengan PP 51/ 2023. Karenanya dia meyakini pemberi kerja sudah bisa mengantisipasi dampak kenaikan UMP tersebut.

"Kami juga menilai jika kenaikan UMP ini memang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024. Hal tersebut disebabkan kenaikan UMP tersebut diharapkan mampu untuk menjaga daya beli masyarakat dalam melakukan konsumsi," pungkas Josua.

Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan, hingga Rabu (22/11) sebanyak 4 provinsi belum melaporkan penetapan kenaikan UMP. Empat provinsi tersebut yaitu, Kalimantan Tengah, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Pegunungan.

Padahal tenggat akhir pelaporan penetapan UMP ialah Selasa (21/11) pukul 23.59 WIB. Gubernur yang terlambat melaporkan penetapan UMP dan tidak menggunakan hitungan yang sesuai dengan formula PP 51/2023 akan diberi sanksi oleh Menteri Dalam Negeri.

"Untuk sanksi tanya ke Kemendagri. Itu bukan ranah kami di Kementerian Ketenagakerjaan," tutur Indah. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat