visitaaponce.com

Lewat Aturan Baru, Biaya PLTS Atap Rumah Tangga Lebih Mahal

Lewat Aturan Baru, Biaya PLTS Atap Rumah Tangga Lebih Mahal
Petugas melakukan perawatan terhadap panel surya di atap gedung Hotel Claro, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/8/2023).(Antara/Arnas Padda)

DIREKTUR Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai dengan penghapusan skema impor-ekspor atau net-metering lewat aturan terbaru pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap akan menelan biaya lebih mahal untuk konsumen rumah tangga. Sebelumnya, dengan memasang PLTS atap, listrik yang dihasilkan pada siang hari dapat diekspor atau ditransfer ke PT PLN dan malamnya konsumen bisa kembali mengambil listrik dari PLN. 

Namun, dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), kelebihan energi listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik. Penghilangan skema net metering dianggap tidak menguntungkan untuk pelanggan listrik rumah tangga yang beban puncaknya terjadi pada malam hari. Sdangkan PLTS atap menghasilkan energi dari pagi menjelang sore.

"Dampaknya ialah biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi dan ada dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage) yang akan lebih mahal," ujar Fabby saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (25/2). Fabby menerangkan minimal instalasi PLTS atap dengan harga sekarang ialah 2-3 kilowatt hour (kWh) untuk rumah tangga dengan konsumsi listrik di atas 300 kWh per bulan. 

Baca juga : Multi Bintang Indonesia Jajaki Manfaatkan Listrik PLTS Terapung Cirata

Dari perhitungan PLN Icon Plus, biaya instalasi PLTS atap atau PV rooftop berdaya 1 kWp sebesar Rp23,7 juta. Ia menegaskan jika tanpa skema net-metering, kapasitas yang bisa dipasang lebih mahal dari harga 1 kWp saat ini. "Ketentuan ini jelas menjadi tidak menarik secara finansial bagi kebanyakan konsumen rumah tangga. Namun, untuk pelanggan industri, ini tidak terlalu bermasalah," jelasnya.

Fabby menuding Permen ESDM 2/2024 terlalu berpihak pada kepentingan PLN dan dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik karena pembiayaan listrik yang lebih mahal dan membebani kantong konsumen. "Sangat disayangkan kebijakan baru ini mengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar," tegasnya.

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan energi Sofyano Zakaria menilai penghapusan skema eskpor impor dalam Permen ESDM 2/2024 sebagai revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTLU sudah tepat diterapkan. "Ini merupakan sikap dan kebijakan yang sangat tepat dari pemerintah," katanya.

Menurutnya, pemakaian PLTS atap memang dibutuhkan dan merupakan alternatif energi hijau bagi masyarakat. Karena itu, keberadaannya tidak harus menjadi beban tambahan bagi PLN, ketika listrik yang dihasilkan dari PLTS atap diusulkan wajib dibeli oleh PLN.

"Justru dengan upaya yang mewajibkan PLN wajib membeli daya listrik dari PLTS atap konsumen dapat dinilai seperti berburu di kebun binatang. Permen ESDM 2/2024 sudah melalui kajian yang komprehensif," pungkasnya. (Z-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat