visitaaponce.com

Minim Katalis, Ekonomi Triwulan II Diprediksi Turun

Minim Katalis, Ekonomi Triwulan II Diprediksi Turun
Ilustrasi.(MI/FRANSISCO CAROLLIO)

EKONOMI Indonesia pada triwulan II dinilai akan menghadapi sejumlah tantangan yang cukup berat, baik dari luar maupun dalam negeri. Bahkan angka pertumbuhan 5% di tiga bulan kedua tahun ini diperkirakan bakal sulit tercapai.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi. Ekonomi domestik, kata dia, tak lagi memiliki momentum yang dapat mendongkrak perekonomian seperti di triwulan I 2024.

"Di triwulan I ini pertumbuhannya berasal dari konsumsi masyarakat dan pemerintah, itu luar biasa besar. Karena memang ditopang oleh pemilu dan Ramadan," ujarnya saat dihubungi, Senin (6/5).

Baca juga : Kuartal I Tumbuh 5,11%, Kemenkeu: Basis Baik Ekonomi 2024

Momentum tersebut, kata Tauhid, tak lagi ditemui di triwulan II. Karenanya, dia memperkirakan konsumsi masyarakat dan pemerintah yang telah menjadi motor pertumbuhan di tiga bulan pertama akan mengalami turun mesin, alias melemah.

Belum lagi kondisi inflasi pangan atau barang bergejolak di Tanah Air masih cukup tinggi. Bahkan kelompok itu diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan di triwulan II imbas perubahan iklim dan konflik geopolitik dunia.

Alih-alih terjangkau, kebutuhan pangan justru dinilai akan membatasi pertumbuhan konsumsi masyarakat di triwulan II karena ada potensi kenaikan harga. Beras, misalnya, meski telah melandai, harga komoditas itu diperkirakan tak akan turun lebih rendah lagi.

Baca juga : Inflasi Ramadan dan Lebaran Rendah Dinilai sebagai Anomali

Sebabnya, pemerintah telah menetapkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras, setidaknya hingga Juni 2024. Itu menurut Tauhid tak akan menarik harga beras di level konsumen ke bawah.

Kondisi itu juga bisa bertambah berat lantaran perubahan iklim terjadi begitu cepat. Dampaknya, produksi beras di bisa terganggu dan mengerek harga komoditas itu. "Kalau melihat proyeksi, sampai April 2025 harga beras itu akan naik di level dunia, itu dari trading economics, karena situasi climate change dan geopolitik," jelasnya.

Harga pangan juga diprediksi akan tetap tinggi karena kebijakan yang digulirkan oleh pemerintahan baru. Program makan siang dan susu gratis dinilai akan menyebabkan permintaan komoditas pangan melejit, menyebabkan harga bertahan di level yang tinggi.

Baca juga : Inflasi Melonjak, Aktivitas Liburan Idul Fitri Lesu di Pakistan

Hal itu, kata Tauhid, perlu diwaspadai. Pasalnya, pendapatan masyarakat, utamanya kelompok menengah bawah cenderung stagnan. Mayoritas masyarakat akan terus berkutat memutar otak untuk sekadar memenuhi urusan perut lantaran harga yang tinggi tak diikuti kenaikan pendapatan.

Situasi itu akan kian memperberat ekonomi Indonesia, tak hanya di triwulan II, tetapi juga di beberapa periode berikutnya. Apalagi jumlah masyarakat yang setengah menganggur mengalami kenaikan.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan jumlah masyarakat setengah menganggur sebanyak 2,5 juta orang pada Februari 2024 menjadi 12,11 juta orang. Itu berarti, makin banyak orang yang memiliki pendapatan kurang layak atau belum bisa mencukupi kebutuhannya.

Sebab, masyarakat yang setengah menganggur ialah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dan masih mencari atau menerima pekerjaan tambahan. "Kalau masih mencari pekerjaan, berarti tingkat pendapatan yang diterima masih belum mencukupi," kata Tauhid.

"Mereka tetap bekerja, tapi mereka bekerja kurang dari 35 jam dan sedang mencari pekerjaan, saya rasa itu karena ada pendapatan yang kurang layak," sambungnya. (Z-6)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat