visitaaponce.com

Jelang PTM, Kemenag Beri Perhatian Pengelolaan Stres untuk Guru dan Murid

Jelang PTM, Kemenag Beri Perhatian Pengelolaan Stres untuk Guru dan Murid
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, Kemenag, Muhammad Zain.(ANTARA/Anom Prihantoro)

KEMENTRIAN Agama (Kemenag) melalui Subdit Bina Guru dan Tenaga Kependidikan Raudlatul Athfal (GTK RA)terus melakukan upaya penguatan kompetensi instruktur daerah melalui kegiatan peningkatan kompetensi guru instruktur daerah pada RA. 

Dalam pelaksanaan pelatihan instruktur guru yang berlangsung sejak Selasa-Jumat (5-8 April), Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah, Kemenag, Muhammad Zain mengingatkan pentingnya pengembangan kompetensi guru instruktur madrasah.

Hal itu agar mereka bisa melakukan pembinaan, pelatihan dan bimbingan terhadap guru yang memililki kemampuan untuk menjadi instruktur.

"Ini penting karena melalui instruktur diharapkan ke depannya guru-guru madrasah di tingkat daerah dan provinsi terus mendapatkan pendampingan untuk meningkatkan kompetensi dan kreatifitas guru madrasah yang professional dan inovatif," ujar Zain.

Dia mengajak guru instruktur untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan semangat yang tinggi. Mereka harus cepat beradaptasi dalam menghadapi tranformasi digitalisasi.

Zain menerangkan, guru adalah pahlawan yang layak di beri jasa, yang bekerja secara profesional dengan melihat kompetensinya sehingga menciptakan anak bangsa yang sukses.

"Guru itu profesi, profesi karena kompetensinya, oleh karena itu yayasan dan negara harus hadir memberi pengakuan terhadap guru yang telah bekerja, dengan profesinya, dedikasi guru madrasah yang dengan ikhlas beramal, keiklasan harus terus diperjuangkan dengan apresiasi gaji yang layak," terangnya.

Dia pun berpesan pelaksanaan pelatihan instruktur kali ini, menitipkan pengetahuan tentang moderasi beragama, pemahaman tentang keberagaman etnis, ras dan suku bangsa menjadi syarat mutlak sebagai instruktur.

Tanoto Foundation turut pulamendukung upaya peningkatan kompetensi guru di semua jenjang pendidikan. Bersama Kemenag, Tanoto Foundation mendorong guru instruktur daerah pada RA untuk mengembangkan kompetensi personal terkait pengelolaan stres dan membagikan kompetensi personal kepada guru-guru RA lain di wilayahnya.

Sr. ECED Specialist Tanoto Foundation, Fitriana Herarti, M.Psi, Psikolog, mengatakan bahwa stres bisa terjadi pada siapapun termasuk pendidik dan peserta didik.

Apalagi dengan situasi saat ini, pasca-pandemi setelah lebih dari 2 tahun terbiasa pembelajaran dilakukan secara daring, sekarang berubah ke pembelajaran tatap muka. Setiap perubahan selalu berpotensi untuk menimbukan kondisi stres pada siapa saja.

"Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang kembali ke penerapan pembelajaran tatap muka disinyalir dapat memicu berbagai situasi stres pada guru maupun peserta didik," ujarnya dalam kegiatan Peningkatan Kompetensi Guru Instruktur Daerah pada RA, Kamis (7/4).

Menurutnya, pengembangan kompetensi personal terkait pengelolaan stres penting bagi guru instruktur daerah pada RA. Hal itu untuk mendukung kompetensi teknis dalam membuat strategi pembelajaran yang efektif, sekaligus sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Di masa pasca-pandemi ketika sekolah kembali dibuka muncul berbagai kondisi psikis yang perlu diperhatikan. Bagi guru atau instruktur, kembalinya ke sekolah setelah lebih dari 2 tahun mengajar secara online tentu membawa banyak perubahan.

Beberapa diantaranya mungkin saja merasa cemas karena sudah terbiasa mengajar online, ada juga khawatir terpapar virus selama dalam perjalanan maupun di sekolah, gugup hingga merasa bingung bagaimana mengatur waktu.

Bagi peserta didik, yang saat awal masuk sekolah sudah dipaksa keadaan untuk belajar online sehingga tidak memiliki pengalaman belajar secara tatap muka akan menimbulkan perasaan sedih, khawatir, gelisah hingga takut karena menghadapi lingkungan baru dengan waktu yang lebih terstruktur.

Mulai dari bangun, makan pagi, pergi sekolah, belajar, bermain, hingga pulang merupakan rangkaian yang terstruktur. Padahal selama belajar online mereka terbiasa dengan pengaturan waktu yang lebih fleksibel.

Stres, lanjut Fitriana, dipicu oleh tiga hal diantarnya katastrofi atau kejadian besar seperti bencana, perubahan kehidupan dan kejadian sehari-hari. Selain itu, kadar stres pada setiap orang berbeda-beda dan tergantung pada kemampuan memperkirakan situasi-situasi yang menimbulkan stres, persepsi terhadap suatu situasi, perasaan mampu mengatasi, dan juga dukungan sosial.

"Stres tidak selamanya buruk. Eustres adalah stres positif. Stres yang memicu kita untuk berkembang, membuat kita termotivasi, optimis dan semangat untuk berproses dengan stres tersebut. Sementara stres negatif disebut distres. Ini stres yang memicu kita memberikan respon destruktif, menurunkan kinerja kita, terasa seperti tak bertenaga, putus asa bahkan berdampak ke keluhan fisik," jelas Fitriana.

Lebih lanjut, Fitriana pun mengajak para guru dan instruktur RA untuk mengenali ciri-ciri umum stres baik pada orang dewasa maupun pada anak. Untuk orang dewasa perasaan mudah gelisah, frustrasi, mudah tersinggung, tidak tenang, mudah sakit dan lainnya menjadi ciri umum yang sering terjadi.

Sementara untuk anak bisa saja terjadi perkembangan yang terhambat atau kembali pada tahap perkembangan sebelumnya, cenderung menyendiri bahkan menjadi penakut. Kemudian juga mudah marah, menangis, kehilangan nafsu makan, mimpi buruk dan sebagainya.

"Prinsipnya pada anak itu terjadi perubahan perilaku dan kebiasaan," lanjutnya.

Meski demikian, stres ternyata bisa melatih resilien atau daya lenting. Ini bisa meningkatkan kapasitas seseorang untuk menerima, menghadapi dan mengubah masalah-masalah yang telah, sedang dan akan dihadapi menjadi peluang untuk mengembangkan diri.

"Resilien dapat digunakan untuk membantu seseorang menghadapi dan mengatasi situasi sulit serta dapat digunakan untuk mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidupnya," tuturnya.

Lantas, penting untuk membentuk resilien pada anak usia dini maupun orang dewasa. Mereka hidup di era VUCA World atau dunia yang selalu bergerak untuk berubah (volatile), tidak pasti (uncertain), kompleks (complex) dan ambigu (ambiguous).

"Era ketidakpastian dan perubahan dengan cepat membutuhkan kemampuan penyesuaian diri, kreativitas dan inovatif yang perlu dibentuk sejak kecil melalui beragam tantangan atau permasalahan," tandasnya.

Adapun, faktor-faktor pembentuk resilien adalah kekuatan dari dalam diri sendiri, faktor eksternal berupa dukungan orang-orang terdekat, dan juga kemampuan berinteraksi dengan orang lain. (RO/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat