visitaaponce.com

Meneruskan Pemikiran Buya Maarif dalam Menjawab Tantangan Intoleransi

Meneruskan Pemikiran Buya Maarif dalam Menjawab Tantangan Intoleransi
Halaqah Kebangsaan 'Mengenang dan Melanjutkan Legacy Buya Syafii Maarif' yang diselenggarakan Maarif Institute di Jakarta, Selasa (12/7).(MI/USMAN ISKANDAR)

PEMIKIRAN tokoh Muhammadiyah almarhum Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Maarif perlu dirawat dan diteruskan. Buya dikenal konsisten menyuarakan pentingnya toleransi serta merawat keberagaman dan keberpihakannya pada kelompok minoritas.

Prinsip dan pemikirannya diharapkan dapat menjawab tantangan terutama politik identitas dan intoleransi yang dikhawatirkan menguat pada tahun politik 2024. Demikian yang mengemuka dalam Halaqah Kebangsaan 'Mengenang dan Melanjutkan Legacy Buya Syafii Maarif' yang diselenggarakan oleh Maa'rif Institute di Jakarta, Selasa (12/7).

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta Prof Siti Musdah Mulia menuturkan bahaya politik identitas pernah diuraikan oleh Buya dalam tulisannya.

Buya menyebut politik identitas dulu merupakan perjuangan kelompok minoritas seperti orang kulit hitam melawan represi kulit putih atau perjuangan perempuan menyuarakan hak-hak mereka. Di Indonesia, ujar Prof Musdah, politik identitas justru digunakan kelompok mayoritas untuk menyingkirkan minoritas.

"Bukan hanya minoritas dari segi agama tapi juga pihak yang tidak sependapat. Politik identitas melahirkan pola intoleransi, kekerasan, serta konflik," ujar Musdah yang menjadi pembicara pada diskusi itu.

Oleh karena itu, imbuhnya, Buya Maarif bersuara dengan tegas menyampaikan melawan politik identitas.


Baca juga: Tanoto Foundation Dukung Pengembangan Kepemimpinan Scholars Lewat TSG


"Beliau sadar betul bahaya fundalimentalisme Islam. Buya mampu memprediksi secara tajam bahwa politik identitas akan digunakan para politisi untuk meraih kekuasaan," imbuhnya.

Prinsip itu, terang Musdah, ditegaskan Buya melalui sikapnya dalam menolak wacana mengubah NKRI menjadi negara Islam.

Direktur Program The Wahid Institute Rumadi yang juga mengisi diskusi itu mengatakan, Buya mencontohkan dengan bijak menyikapi kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang dianggap menistakan agama. Menurut Buya, Ahok tidak menistakan agama Islam dan tidak dapat dipenjara dengan pasal penistaan agama.

Sekretaris Jenderal Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti menambahkan peninggalan (legacy) dari Buya Maarif bukan hanya pemikiran, melainkan tindakan dan keberaniannya melawan arus. Buya, terang dia, orang yang berani menyuarakan pluralisme, keindonesiaan, dan Islam meskipun terkadang pemikiran itu, ujar Mu'ti, tidak sepaham dengan orang-orang di Muhammadiyah.

"Buya berani speak up (bicara), ketika orang-orang diam," ucapnya.

Sosok Buya kini telah pergi, tetapi Buya telah meletakkan prinsip dasar mengenai toleransi dan politik kebangsaan untuk dilanjutkan.

"Buya tidak canggung dalam melintas batas. Buya tidak pernah canggung di kelompok manapun," imbuhnya.

Ia berharap kultur dalam membangun toleransi tidak berhenti pada wacana, melainkan diterapkan secara kelembagaan khususnya di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mendorong kerukunan dengan inklusivitas. (OL-16)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat