visitaaponce.com

Kampanye Stop Sachet Dorong Penggunaan Produk Isi Ulang

Kampanye Stop Sachet Dorong Penggunaan Produk Isi Ulang
Konferensi pers “Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet” yang dilakukan secara hybrid di Jakarta, Minggu (17/7).(Ist)

 ALIANSI Zero Waste Indonesia (AZWI) menyerukan penghentian penggunaan sachet karena sampah sachet sulit didaur ulang secara aman dan berkelanjutan dan ditemukan banyak mencemari lingkungan, baik di darat maupun di laut.

Hal ini disampaikan dalam konferensi pers “Stop Sachet: Bangun Gerakan untuk Mendukung Pembatasan Sachet” yang dilakukan secara hybrid di Jakarta dan platform Zoom padai Minggu (17/7). 

“Melalui kampanye Stop Sachet ini kami mengubah narasi daur ulang sachet menjadi narasi guna ulang dan isi ulang secara signifikan dan mendorong kepatuhan terhadap kebijakan nasional mengenai konsumsi dan konsumsi plastik oleh produsen,” ujar Rahyang Nusantara, selaku Co-Coordinator AZWI.

Manager Program Ecoton, Dr. Daru Setyorini, menjabarkan sejumlah fakta yang ditemukan dalam Ekspedisi Sungai Nusantara yang digelar sejak awal tahun ini

“Tim ekspedisi menemukan sungai Ciliwung yang kini dibanjiri sampah sachet. Sampah ini diproduksi perusahaan domestik dan global. Sebagaimana diketahui bersama, sachet adalah sampah kemasan plastik fleksibel berukuran kecil yang sulit didaur ulang," jelas Daru.

“Kemasan sachet ini mudah tersebar dan tersangkut di dahan dan akar pohon tepi sungai, melepaskan jutaan partikel mikroplastik yang mengandung bahan kimia ftalat dan EVOH yang beracun, mengganggu sistem hormon, dan pemicu kanker,” ujar Daru.

“Untuk mengetahui produsen mana yang menjadi top polluters sampah sachet di Sungai Ciliwung, kami melakukan brand audit dan hasilnya menunjukkan sachet produk-produk Unilever paling banyak ditemukan,” tambahnya.

Senada dengan Daru, Co-Founder Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menjelaskan bahwa kemasan makanan sekali pakai berbahan plastik berpotensi memindahkan senyawa kimia berbahaya, seperti PFAS, ke makanan.

Untuk membuat kemasan tahan cuaca, juga digunakan senyawa-senyawa berbahaya lainnya, seperti UV-328.

“Penggunaan senyawa-senyawa berbahaya dalam kemasan sachet ini bukan hanya berbahaya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga terakumulasi di lingkungan. Bahan-bahan kimia berbahaya ini juga akan menyebabkan ekonomi sirkular yang toksik,” jelas Yuyun.

Tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis sampah sachet sejatinya tak hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga produsen.

Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, setiap produsen harus bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan.

Namun, Founder Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hermawan Some mengatakan, sejauh ini tanggung jawab produsen terhadap sampahnya masih minim.

“Sebagai contoh, program daur ulang kemasan sachet oleh Unilever dari sampah rumah tangga sudah tidak berjalan lagi sejak 2019 ditambah mereka kurang terbuka terkait hal ini, termasuk berapa jangkauan yang sudah bisa didaur ulang dan apakah semua sachet yg dikumpulkan semuanya bisa didaur ulang atau tidak,” imbuh Hermawan.

Koordinator Program Break Free From Plastic Asia Pasifik, Miko Aliño menyebutkan bahwa beberapa daerah di Indonesia dan Asia pada umumnya memiliki kapasitas terbatas untuk menangani limbah sachet plastik dengan aman.

Dalan mengatasi sampah plastik. seringkali memaksa pemerintah daerah untuk memilih opsi penanganan yang sangat berpolusi seperti teknologi insinerasi.

Alhasil, penanganan yang diberikan hanya sebatas solusi semu yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah.

“Kami meminta perusahaan untuk berhenti memproduksi dan membakar sachet dan sebaliknya berinvestasi secara signifikan dalam sistem penggunaan kembali dan isi ulang,” pungkas Miko. (RO/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat