visitaaponce.com

Tanggapan IAI terhadap Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal

Tanggapan IAI terhadap Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal
Noffendri Roestam.(DOK Pribadi.)

PENGURUS Pusat Ikatan Apoteker Indonesia menghargai kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam surat edaran Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Nomor: SR.01.05/III/3461/2022 perihal Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak. Hal itu merupakan bentuk kewaspadaan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat dengan menghentikan sementara penggunaan obat sediaan sirup untuk terapi anak.

Namun PP IAI berpendapat, pemerintah perlu bertindak lebih bijak dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Hal ini mengingat masih banyak masyarakat yang membutuhkan sediaan sirup dalam proses pengobatan berkaitan dengan kondisi klinis yang mereka hadapi. "Dalam kondisi tertentu, berdasarkan pertimbangan antara risiko dan kemanfaatannya dan diputuskan oleh dokter untuk tetap menggunakan obat dalam bentuk sediaan sirup, apoteker perlu melakukan pengawasan bersama dokter terkait keamanan penggunaan obat," demikian tertulis dalam Surat Edaran yang dikeluarkan PP IAI bernomor B2-382/PP.IAI/2226/X/2022 pada 19 Oktober 2022.

Pengurus Harian PP IAI setelah berdiskusi bersama Dewan Pakar PP IAI menyampaikan bahwa hingga saat ini BPOM dan Kementerian Kesehatan belum memiliki kesimpulan penyebab pasti kejadian gangguan ginjal akut atipikal di Indonesia. Berbeda dengan kejadian di Gambia yang telah dipastikan penyebabnya ialah cemaran etilen glikol dan dietilen glikol dengan kabar melebihi ambang batas aman. "Masih ada banyak kemungkian penyebab gangguan ginjal akut atipikal yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, ditemukan juga  pasien yang ternyata sama sekali tidak minum sirup parasetamol," ungkap Prof Dr apt Keri Lestari, anggota Dewan Pakar PP IAI.

Menurut Keri, apabila penyebab gangguan ginjal ini ialah obat tunggal, ini akan lebih mudah ditemukan. Namun karena sejauh ini belum diketahui pasti, ada kemungkinan penyebabnya ialah interaksi antarobat, interaksi obat dengan makanan, atau justru makanan yang menyebabkan gangguan ginjal. "Ini perlu penelitian lebih jauh. Kami juga berharap apoteker diberi akses terhadap pasien untuk dapat mengungkap lebih dalam obat apa saja yang telah dikonsumsi atau makanan yang telah diasup," ungkap Keri.

Dalam surat edaran PP IAI yang ditujukan kepada para pengurus daerah di Indonesia juga disebutkan agar para apoteker lebih memperhatikan kemungkinan interaksi antarobat dan interaksi dengan makanan. Interaksi ini berisiko menimbulkan kejadian fatal seperti kegagalan organ termasuk kondisi gagal ginjal akut. "Memperhatikan interaksi obat memang sudah menjadi mandatori sebagai apoteker, tetapi untuk kali ini kami minta sejawat apoteker di seluruh Indonesia untuk melakukan pengawasan lebih ketat lagi," tutur apt Noffendri Roestam, Ketua Umum PP IAI.

Surat yang ditandatangani oleh Noffendri dan Sekretaris Jenderal apt. Lilik Yusuf Indrajaya tersebut dikeluarkan oleh PP IAI menanggapi surat Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Nomor: SR.01.05/III/3461/2022 Perihal Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak tertanggal 18 Oktober 2022. Masyarakat perlu memahami bahwa sediaan obat bisa berupa sediaan padat, semipadat, cair, dan gas.

Obat sediaan cair bisa berupa sirup, suspensi, emulsi, dan eliksir. Bentuk sediaan ini menyesuaikan karakter bahan aktif dan kebutuhan pasien. Jadi tidak semua obat berbentuk cair ialah sirup yang menggunakan bahan tambahan alkohol dan berkemungkinan tercemar senyawa etilen glikol dan dietilen glikol. Parasetamol yaitu bahan aktif yang  sulit larut dalam air, sehingga perlu diberikan bahan tambahan yakni polietilen glikol (PEG) dan gliserin untuk menambah kelarutannya. Pada proses produksinya, dimungkinkan ditemukan kontaminan yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

Mengenai keamanan obat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 105 menyatakan bahwa sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lain. Senyawa etilen glikol dan dietilen glikol tidak digunakan dalam formulasi obat, tetapi dimungkinkan keberadaannya dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirup dengan nilai toleransi 0,1% pada gliserin dan propilen glikol serta 0,25% pada polietilen glikol (Farmakope Indonesia, US Pharmacopeia). Batas nilai toleransi tersebut tidak menimbulkan efek yang merugikan. Kedua senyawa tersebut selama ini digunakan dalam industri otomotif seperti coolant.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar. Obat yang mendapatkan izin edar dari Badan POM sudah melalui proses pengujian dan memenuhi standar keamanan, kualitas, dan kemanfaatannya, serta diproduksi sesuai dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

Karena itu Ikatan Apoteker Indonesia mengimbau kepada apoteker yang bekerja di industri farmasi untuk terus berupaya meningkatkan kepatuhan pada standar CPOB terutama dalam menjaga kualitas obat-obatan yang diproduksi. Apoteker yang bekerja di sarana pelayanan kefarmasian dan sarana pelayanan kesehatan diminta berkolaborasi bersama dokter dan tenaga kesehatan lain untuk memberikan informasi dan edukasi kepada pasien/masyarakat tentang penggunaan obat yang rasional dan aman, rekomendasi penggunaan obat dalam bentuk sediaan lain, dan rekomendasi terapi nonfarmakologi.
 
Apoteker diimbau pula berkolaborasi bersama dokter dan tenaga kesehatan lain untuk melakukan monitoring penggunaan obat oleh pasien/masyarakat. Apoteker diharapkan tetap memantau perkembangan informasi terkini, dan memberikan informasi kepada masyarakat dengan benar sesuai referensi terkini untuk menenangkan masyarakat.

Dalam kesempatan tersebut, Noffendri Roestam juga berharap masalah ini tidak dibawa ke ranah hukum berkaitan dengan penjualan dan stok obat sirup di apotek. Ia berharap Kapolri Listyo Sigit Prabowo akan menindak oknum penegak hukum yang melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke apotek. Sebab, bila sidak dilakukan, hal tersebut tidak akan membantu menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan keresahan baru di kalangan Apoteker yang bertugas di komunitas.

"Sampai sejauh ini, kita belum tahu siapa yang menjadi tertuduh dalam kasus gangguan ginjal akut atipikal yang menyerang anak usia di bawah 10 tahun ini. Dalam kasus ini, apotek dan apoteker sama sekali bukan pihak yang harus disalahkan. Karena itu kami berharap tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan melakukan sidak ke apotek-apotek," harap Noffendri.

Harapan itu dikemukakan Noffendri, karena pihaknya telah menerima laporan ada oknum penegak hukum yang melakukan sidak ke sejumlah apotek di beberapa kota di Indonesia. "Kami sangat menyayangkan hal ini terjadi dan berharap tidak meluas ke kota-kota lain di Indonesia. Sejauh ini kami terus berkoordinasi dengan BPOM dan Kementerian Kesehatan untuk dapat bersama-sama menyelesaikan kasus gangguan ginjal akut atipikal pada anak yang sekarang menjadi perhatian kita semua," ungkap Noffendri. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat