visitaaponce.com

Migrasi Analog ke Digital, DPR Soroti Alat Set Top Box yang Dijual Bebas

Migrasi Analog ke Digital, DPR Soroti Alat Set Top Box yang Dijual Bebas
Harga Set Top Box (STB) naik tajam dari Rp200 ribu menjadi Rp400 ribu, setelah migrasi siaran digital diberlakukan per 2 November 2022(Antara)

ANGGOTA Komisi I DPR Fraksi Golkar Nurul Arifin mengkritisi banyaknya penjualan set top box di pasaran. Padahal sesuai amanat UU dan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2021 alat tersebut diberikan secara gratis oleh pemerintah dan lembaga penyelenggara multipleksing.

Yang yang terjadi saat ini, alat tersebut lebih dulu berada di pasaran yang diindikasikan adanya pihak yang mengambil keuntungan dalam proses peralihan siaran televisi analog ke siaran televisi digital.

“Logikanya jika alat itu ada di pasar harusnya yang 6 juta (set top box dibagikan gratis) itu selesai dulu baru sisanya dijual atau ada di pasar. Yang terjadi barang masuk ke pasar dulu baru dibagikan,” cetusnya.

Dalam diskusi dialektika demokrasi Hak Masyarakat dan Kebijakan Digitalisasi TV, Kamis (10/11) Nurul mengkhawatirkan kondisi ini mengulang kembali pengalaman sebelumnya yakni keharusan menggunakan decoder saat peralihan menggunaan televisi nasional ke siaran televisi swasta. Padahal dalam waktu yang tidak terlalu lama penggunaan decoder dengan cepat ditinggalkan karena pemerintah bisa membuat televisi bisa mengakses siaran televisi swasta tanpa decoder.

“Kita punya pengalaman dulu dari TV nasional ke swasta harus pakai decoder, sampai sekarang itu tidak berguna. Kalau itu seperti sekarang pemerintah harusnya usahakan dulu tidak usah pakai set top box tapi komitmennya infratruktur dan teknologinya seperti apa. Biarkan mereka bisa menonton TV digital. Ini ada orang-orang yang ambil keuntungan,” tegasnya.

Dia menerangkan DPR sudah menerima penjelasan dari Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang menafsirkan isi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 hanya bertugas menyedian alat tersebut. Sedangkan pendistirbusiannya bukan kewajiban LPS.

“Mereka mengeluh sediakan barangnya tapi ternyata maslaahnya tidak berhenti di sana, jadi harus ada biaya untuk pasang dan peralatan lain yag harus dilengkapi dan bayar orangnya. Jadi realisasi tidak sesuai dengan komitmen. Jadi mereka menyediakan tapi mereka tidak tahu cara pendistirbusiannya”

Keruwetan yang terjadi ini juga ditegaskan oleh anggota Komisi I DPR Fraksi PDI Perjuangan Junico Siahaan. Menurutnya ketidakefektifan komunikasi antara pemerintah dan penyelenggara multipleksing tidak berjalan baik. Hal ini diperparah dengan penafsiran yang berbeda terhadap PP Nomor 46 Tahun 2021 pasal 85.

“Komunikasi monolog. Memang ini awalnya dimulai dari komunikasi penafsiran karena masalah covid dan televisi swasta inginkan ada komunikasi yang lebih baik. Komunikas satu arah ini menyasar pada PP Nomor 46 pasal 85 yang menyatakan pemerintah membantu penyediaan alat bantu penerimaan siaran set top box pada rumah tangga miskin agar dapat menerima siaran televisi secara digital. Tafsiran televisi penyediaan, kalau kata pemerintah penyediaan alat bantu ini harus sampai ke rumah. Dan itu harus ada biaya mengantar dan memasangnya. Ini yang jadi permasalahan yang tidak pernah selesai dikomunikasikan,” ungkapnya.

Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut DPR harus segera merevisi UU Penyiaran yang kemudian mengatur secara lengkap termasuk sanksi dalam upaya peralihan televisi analog ke digital tersebut. Dari data yang dimilikinya komitmen televisi swasta dalam mendistribuskan set top box masih sangat kecil kondisi ini seharusnya dapat dipecahkan secara bersama dan tidak membuat publik merasa dirugikan dengan haknya dalam menggunakan ruang frekuensi.

Sementara itu menurut pakar komunikasi kebijakan publik Universitas Mercu Buana Syaifuddin menilai kebijakan analog switch off( ASO) meninggalkan banyak masalah secara teknis dan komunikasi.

“Bahwa roh dari kebijakan publik apa pun kontennya termasuk ASO sebuah aktifitas komunikasi politik. Jadi yang menjadi akar persoalannya bukan melulu dari persoalan teknis tapi persoalan ini muncul dari dari semua persoalan yang ada tadi mengakar dari soal komunikasi yang tidak efektif”

Dia menilai berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah sebetulnya baik tapi menjadi tidak baik caranya tidak benar dan efektif.

“Pemerintah ketika itu sifatnya monolog maka itu tidak akan pernah efektif. Artinya dalam perumusan tidak melibatkan semua pihak yang terlibat sebagai stake holder. Misalnya Kominfo dan pihak tv swasta,” tukasnya. (H-2)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat