visitaaponce.com

RUU Kesehatan Mudahkan Dokter Ambil Pendidikan Spesialis, Benarkah Demikian

RUU Kesehatan Mudahkan Dokter Ambil Pendidikan Spesialis, Benarkah Demikian?
Ilustrasi(Healthline)

KOORDINATOR Jaringan Dokter Muda Indonesia (JDMI) dr Koko Khomeini menilai RUU Kesehatan menjawab sejumlah masalah yang umumnya dihadapi oleh para dokter muda, salah satunya akses mendapatkan pendidikan dokter spesialis

"Peserta didik yang mengikuti pendidikan berbasis rumah sakit tidak perlu membayar biaya pendidikan karena akan dianggap sebagai dokter magang atau bekerja. Ini akan mempermudah para dokter muda mengambil program spesialis. Kebanyakan dokter memang bercita-cita menjadi dokter spesialis sebagai jenjang karir mereka. Jadi nantinya akan ada dua opsi, spesialis melalui universitas dan melalui rumah sakit, sehingga kesempatan para dokter untuk mengambil pendidikan lanjutan akan sangat luas," kata Koko, Rabu (10/5).

Pandangan Koko berbeda dengan pandangan mantan Kepala BaltibangKementerian Kesehatan (Kemenkes), Prof Tjandra Yoga Aditama. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu menyatakan, perihal pendidikan dokter spesialis yang diharapkan sampai ke daerah, berbenturan dengan pasal lain dalam RUU Kesehatan.

Baca juga : Perlu Terobosan di Sistem Desentralisasi untuk Produksi Dokter Spesialis

Misalnya, kata Tjandra, Pasal 180 ayat (2) yang menyebutkan bahwa selain memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit, juga dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan.

"Ayat itu dimulai dengan kata 'selain', yang tentunya dapat diartikan bahwa ini adalah kegiatan selain memberi pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang tentunya amat penting itu," kata Tjandra.

Baca juga : Program Pendidikan Berbasis Rumah Sakit Perlu Digodok Secara Matang

Padahal, dalam ketentuan umum disebutkan bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna melalui pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

"Jadi tegas di sini bahwa rumah sakit tugas utamanya ialah menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna," ujarnya.

Kemudian, lanjutnya, di Pasal 180 ayat (3) tertulis 'Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik'.

"Jadi tetap tentang aspek klinik pada pasien dan pengunjung rumah sakit, bukan tata pendidikan," cetusnya.

 

Perlindungan hukum

Selain memudahkan pendidikan dokter spesialis, JDMI mengatakan, RUU Kesehatan juga menambah pasal-pasal perlindungan baru antara lain hak perlindungan untuk peserta didik (dokter yang sedang internship dan yang sedang mengambil program spesialis) ketika terjadi sengketa medik.

Sedangkan, masalah ketiga yang terselesaikan lewat RUU Kesehatan ialah penyederhanaan perizinan praktek yang cukup satu izin setiap 5 tahun, dari saat ini 2 izin untuk 5 tahun dimana Surat Tanda Registrasi (STR) berlaku seumur hidup namun Surat Izin Praktek (SIP) berlaku setiap 5 tahun sekali.

"Fungsi kontrol terhadap kualitas dan kepastian kompetensi dokter secara berkala nantinya diusulkan melekat pada SIP. Sehingga dokter dukun atau tremor atau sakit dapat dicegah secara berkala melakui mekanisme ini. Sistemnya juga akan dibuat transparan untuk menghindari conflict of interest dan kolusi," pungkasnya.

Soal ini, pengurus PP Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Iqbal Mochtar menyebutkan ada dualisme dalam RUU Kesehatan. Ia pun menyoroti Pasal 187 ayat (2) yang menyatakan bahwa rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia. Sementara pada Pasal 188 bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan rumah sakit.

Lalu, pada Pasal 462 disebutkan bahwa jika tenaga medis atau tenaga kesehatan melakukan kelalaian dapat dipidana 3 tahun dan jika menyebabkan kematian dipidana 5 tahun. Iqbal mengatakan profesi dokter menjadi rawan karena jika pasien datang dalam kondisi luka berat dan tidak terselamatkan, keluarga pasien bisa menggunakan pasal tersebut.

"Tidak ada hak imunitas dokter di situ," ucapnya. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat