visitaaponce.com

IDI Perlu Mediasi Dokter Influencer

IDI Perlu Mediasi Dokter Influencer
ILEGAL: Berbagai kasus terhadap pemasaran obat, susu formula, kosmetika, perlu diwaspadai karena pemasarannya memanfaatkan nakes.(MI/ Atet Dwi Pramadia)

   KEBERADAAN media sosial telah menarik banyak pihak termasuk kalangan profesional untuk memanfaatkannya dengan optimal. Salah satunya profesi dokter yang kini menjadi <i>influencer<p> dan banyak memanfaatkan media sosial untuk memasarkan obat-obatan produksi pabrikan farmasi.

   Setelah mempertimbangkan banyak hal, terutama etika, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melarang para dokter di Indonesia khususnya bagi mereka yang juga merangkap sebagai influencer dan memiliki produk kecantikan atau kesehatan, menjual dan mempromosikan produknya di platform media sosial. Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI tentang Fatwa Etik Dokter Dalam Aktivitas Media Sosial.

   Menanggapi larangan dari IDI tersebut, salah satu dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang juga aktif dalam promosi di media sosial, dr. Vito Damay, menyatakan bahwa dirinya tak keberatan terkait peraturan tersebut. Namun dia menganjurkan ada baiknya melalui proses mediasi dan dengar pendapat serta pemberitahuan lebih detail mengenai batas aturan yang berlaku.

Baca juga : Hampir Dua Tahun Kasus Gagal Ginjal Akut, Pemerintah Minta Maaf

   “Sebaiknya sebelum membuat fatwa atau aturan mengenai tata cara bermedia sosial, IDI membuat dan mempertimbangkan secara objektif dengan mengajak dokter-dokter aktivis media sosial atau minimal salah satu kriterianya dokter tersebut punya media sosial yang aktif, untuk melakukan dengar pendapat,” jelasnya saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

   Vito sendiri saat ini dikenal sebagai salah satu dokter yang aktif beraktivitas di media sosial dengan membagikan beberapa konten edukatif kesehatan. Dia mengaku tak pernah melakukan aktivitas promosi dan penjualan produk secara langsung, serta tidak mendapat klaim berlebihan dari produk tertentu.

   “Saya setuju kalau sebagai dokter perlu etika dalam bermedia sosial. Tetapi pemberian edukasi lewat konten kesehatan juga penting agar masyarakat mengerti manfaat kesehatan secara objektif. Jika ada produk, tentu karena itu untuk penunjang edukasi sebab ada warganet yang tidak mengetahui terkait bahan atau cara untuk menjaga kesehatan mereka yang bisa mereka dapatkan,” katanya.

Baca juga : Sidang MK, 5 Organisasi Profesi Sebut UU Kesehatan Cacat Formil

   Kendati demikian, Vito tak menafikan bahwa saat memberikan edukasi melalui konten media sosial, kerap kali terdapat produsen dari produk kesehatan yang mendukung upaya edukasi kesehatan ke masyarakat tersebut, alih-alih menutup diri, Vito memilih untuk menjalin kerjasama namun tak secara langsung mempromosikannya.

   Untuk itu, Vito mendorong agar IDI mengeluarkan kriteria yang jelas dan spesifik mengenai aturan tersebut sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi para dokter yang aktif beraktivitas di media sosial. Selain itu, IDI juga bisa membuat komisi khusus yang berisi para dokter <i>influencer<p> ini sebagai wadah agar proses demokratisasi pendapat dua arah bisa terjalin dengan baik.

   Menurut Vito, aturan yang membatasi perilaku media sosial seorang dokter secara berlebihan dan tidak proporsional justru akan berpotensi pada semakin jauhnya masyarakat untuk mengakses informasi kesehatan dan kemajuan dunia kedokteran.

Baca juga : Imunisasi Covid-19 akan Ditetapkan Menjadi Imunisasi Program

   Susu formula
   Terpisah, ahli gizi masyarakat Dr. Tan Shot Yen mengatakan IDI juga seharusnya memperhatikan para tenaga kesehatan yang secara spesifik terlibat dalam penjualan dan pemasaran susu formula. Alasannya, hal itu sudah menyalahgunakan profesi dan membuat kondisi gizi anak semakin memburuk.

   “Masalahnya mereka (tenaga kesehatan) yang terlibat pemasaran dan penjualan tidak punya kompetensi sebagai konselor laktasi, tidak memahami secara benar seperti apa proses menyusui dan secara langsung sudah ‘keracunan’ manisnya komisi dari industri,” ungkapnya.

   Tan juga mendesak IDI agar segera mengambil sikap yang komprehensif dan holistik dalam kasus tersebut agar tidak semakin banyak masyarakat yang salah langkah memberikan bayinya susu formula dan mengabaikan pentingnya pemberian ASI. Selain itu, pemerintah juga harus turut intervensi dalam mengatur beberapa klaim dari industri susu.
Tan juga mengaku prihatin dengan adanya ada tenaga kesehatan yang dengan teganya mendiskreditkan ASI dengan istilah “ASI tidak berkualitas” dan lain sebagainya. "Pemerintah harus turun tangan juga sebagai pemberi izin usaha,” pungkasnya.(H-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat