visitaaponce.com

Sidang MK, 5 Organisasi Profesi Sebut UU Kesehatan Cacat Formil

Sidang MK, 5 Organisasi Profesi Sebut UU Kesehatan Cacat Formil
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.(Antara)

SEKRETARIAT Bersama (Sekber) Organisasi Profesi Kesehatan yang terdiri atas lima organisasi profesi medis dan kesehatan menilai bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) cacat formil. Hal itu disampaikan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (12/10).

Kelima organisasi profesi medis dan kesehatan dimaksud yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai Pemohon I, Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sebagai Pemohon II, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) sebagai Pemohon III, Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) sebagai Pemohon IV, dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) sebagai Pemohon V).

"Hal ini karena tidak ikut sertanya DPD dalam pembahasan RUU Kesehatan dan tidak adanya pertimbangan DPD dalam pembuatan UU Kesehatan, serta tidak sesuai dengan prosedur pembuatan norma sebagaimana ditentukan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945," ujar Kuasa Hukum para Pemohon Muhammad Joni.

Baca juga : Kemenkes masih Menunggu Proses Uji Formil UU Kesehatan di MK

Disampaikan Joni, para Pemohon merupakan tenaga medis yang terdampak langsung dan memiliki kepentingan atas prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. 

Sebab berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti norma baru termasuk mengenai organisasi profesi, konsil, kolegium, yang merupakan norma kelembagaan dan sekaligus pasal-pasal 'jantung' yang tidak memastikan adanya wadah tunggal organisasi profesi kedokteran dan kesehatan.

Baca juga : Para Dokter Menolak UU Kesehatan, Ini Alasannya Menurut Ketua Umum PB IDI

"Demikian pula norma mengenai kelembagaan konsil, kolegium, dan majelis kehormatan disiplin yang diubah dan diganti tanpa prosedur formil yang memenuhi prinsip keterlibatan dan partisipasi bermakna (meaningfull participation)," ucapnya.

Terlebih lagi, sambung Joni, adanya Bab XIX Ketentuan Peralihan, Pasal 451 yang menjadi norma hukum menghapuskan seluruh entitas kolegium yang merupakan organ 'jantung' organisasi profesi (bukan organ pemerintah dan bukan 'milik' pemerintah). Namun dengan sewenang-wenang dan melanggar hak konstitusional kemerdekaan berhimpun segera akan menghapus seluruh entitas hukum kolegium dengan cara membuat norma Pasal 451 UU Kesehatan yang berbunyi: 'Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Kolegium yang dibentuk oleh setiap organisasi profesi tetap diakui sampai dengan ditetapkannya Kolegium sebagaimana diraksud dalam Pasal 272 yang dibentuk berdasarkan Undang-undang ini.'

Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. “Menyatakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang disahkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 2023 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2023 Nomor 105 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” sebut Joni saat membacakan petitum para Pemohon.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya menyoroti legal standing. Daniel berharap para Pemohon melampirkan AD/ART organisasi dan susunan kepengurusan terbarunya, sehingga dapat diketahui siapa yang benar-benar berhak mewakili organisasi ke dalam dan keluar.

“Jika ada pengesahan dan ada akta notarisnya silakan dilampirkan, dan pasal atau ayat (dalam AD/ART) yang menjelaskan yang berhak mewakili organisasi ini. Ini jadi pintu masuk dari legal standing para Pemohon dalam perkara ini,” jelas Daniel.

Sementara itu, hakim konstitusi M Guntur Hamzah mencermati bagian petitum yang tidak perlu mencantumkan tanggal dan tempat pengesahan UU. Hal yang utama, sambung Guntur, para Pemohon mencantumkan lembaran negara dan tambahan lembaran negara karena berkaitan dengan uji formil UU yang baru disahkan.

Berikutnya Hakim Konstitusi Suhartoyo mengingatkan para Pemohon agar memerhatikan surat kuasa yang sesuai dengan kewenangan untuk mewakili kepentingan organisasi pada bagian identitas. Perlu pula bagi para Pemohon menguraikan secara jelas kerugian konstitusional yang dialami dengan hubungan kausalitas norma yang diujikan pada perkara ini.

“Argumennya dielaborasi yang menarasikan bagaimana sebenarnya tata cara pembentukan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi. Apakah ada keharusan dijemput dengan pasal 22A UUD 1945,” sampai Suhartoyo.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan para Pemohon dapat menyempurnakan permohonan hingga 14 hari ke depan. Naskah perbaikan permohonan selambat-lambatnya diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Rabu, 25 Oktober 2023 pukul 09.00 WIB. (Z-4)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat