Ini UU yang Kurang Mencerminkan Perlindungan pada Anak dan Perempuan
AKTIVIS perempuan dan anak Eva Kusuma Sundari menjelaskan undang-undang yang lahir dari eksekutif dan legislatif beberapa tahun terakhir kurang mencerminkan upaya perlindungan pada anak dan perempuan.
"Kita ini masyarakat patriarchal, jadi menilai memberi bobot kepada laki-laki itu tidak seberat ataupun tidak setara dengan perempuan. Contohnya, lihat RUU-RUU yang sangat cepat diciptakan oleh pemerintah UU Ciptaker, UU Kesehatan, kemudian undang-undang politik setiap 5 tahun diubah," kata Eva saat dihubungi, Minggu (31/12).
Tapi, lanjut Eva, kasus-kasus yang perdagangan, perbudakan yang melibatkan anak dan perempuan bisa terlunta-lunta. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) butuh waktu 8 tahun akhirnya goal dan ternyata di tingkat pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) pun, mandeg bahkan 6 PP yang ditargetkan belum dibuat sama sekali.
Baca juga : Anies-Imin Ajak Anak Istri ke Kampanye Akbar, Tegaskan Komitmen Perlindungan Perempuan
"Demikian juga ketika kita rame-rame presiden marah-marah soal trafficking lalu dibentuk tim khusus, sekarang hilang. Jadi, hangat-hangat tahi ayam dan lebih kepada kepentingan pencitraan dari pemerintah," ujar dia.
Lamanya perjuangan perlindungan anak dan perempuan dalam UU TPKS hingga burtuh 8 tahun untuk ketok palu. Kemudian RUU PPRT yang butuh 20 tahun bahkan sampai saat ini belum disahkan. Sehingga baik perempuan dan laki elit itu agendanya sudah agenda patriarchal, bukan agenda untuk kesetaraan ataupun untuk perlindungan perempuan dan anak itu nggak.
Ia menilai DPR, presiden, hingga menteri-menterinya nggak ada itu niat untuk dengan sungguh-sungguh memberikan pelayanan dan proteksi kepada perempuan dan anak.
Baca juga : Lestari Moerdijat: Penuntasan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Harus Jadi Perhatian Bersama
"Jadi, masyarakat patriarchal, pada Pancasila sila 2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab justru tidak diindahkan karena lahirnya regulasi seperti UU Ciptaker, UU Kesehatan yang dinilai untuk kepentingan korporat bukan untuk mendukung pelayanan terutama untuk perspektif ibu dan anak," ungkapnya.
Misalkan pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bagaimana tidak ada aturan mengenai perempuan domestic workers dilindungi. Justru isinya dinilai hanya karpet merah untuk perusahaan dan orang yang memiliki kepentingan pribadi.
"Lalu putusan Mahkamah Konstitusi untuk melenggangkan anak presiden menjadi calon wakil presiden hanya melayani kepentingan kekuasaan dan terutama ada pelanggangan kekuasaan itu. Trafficking yang sesaat dulu rame, tapi ternyata nggak ada kelanjutan. Ya memang itu pencitraan doang, bukan demi korban, tapi demi pencitraan penguasa," pungkasnya. (Iam/Z-7)
Terkini Lainnya
Kekacauan SKP Kemenkes Membuka Peluang Profesi Kesehatan untuk mengajukan JR Uji Materiel pasal 258 dan 264 UU 17 tahun 2023
Belajar dari Negara Lain Turunkan Perokok Anak
Organisasi Profesi di Era UU Kesehatan Omnibus Law
Peluang Uji Material UU Kesehatan Pascapenolakan Uji Formal oleh MK
Mahfud MD: Silahkan UU Kesehatan Diuji ke MK
Airlangga: UU Cipta Kerja Tingkatkan Peringkat Daya Saing Indonesia
Prabowo Subianto Didesak Cabut UU Cipta Kerja
3.000 Buruh dari Tangerang Bergerak ke Jakarta Rayakan May Day
Ini yang Dilakukan Anies terhadap UU Cipta Kerja
Pemerintah belum Siap, MK Tunda Sidang Gugatan UU Ciptaker terhadap Jaminan Produk Halal
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Ngariksa Peradaban Nusantara di Era Digital
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap