visitaaponce.com

Belajar dari Negara Lain Turunkan Perokok Anak

Belajar dari Negara Lain Turunkan Perokok Anak
Warga saat akan memasang stiker larangan merokok di dinding rumahnya, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/11/2022).(ANTARA/YULIUS SATRIA WIJAYA )

UPAYA menurunkan prevalensi perokok anak bisa belajar dari berbagai negara. Praktik terbaik dari negara lain yang jumlah perokok anaknya turun seperti di Singapura, Selandia Baru, hingga Eropa.

"Sebenarnya regulasi di negara-negara tersebut tidak terlalu memerlukan trobosan atau standar saja. Kalau dari WHO minimal 4 hal yakni menerapkan kawasan tanpa rokok, mencantumkan gambar dampak rokok pada bungkusnya, meningkat cukai rokok serta melarang iklan dan promosi rokok," kata Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari saat dihubungi, Minggu (28/4).

Iklan promosi rokok seringkali menimbulkan image yang baik dan misleading pada anak. Iklan rokok menurutnya seringkali diiklankan seakan-akan tidak berbahaya.

Baca juga : 12 Ormas Desak RPP Kesehatan Disahkan untuk Lindungi Anak dari Rokok

Di Indonesia dari keempat rekomendasi WHO tersebut masih belum optimal adalah pelarangan iklan dan sponsor rokok. Kemudian gambar dampak rokok pada bungkusnya juga masih 40% sementara di negara-negara lain sudah 75-80%.

"Bahkan di Timor Leste gambar dampak rokok di bungkusnya itu sudah 80%," ucapnya.

Iklan rokok juga belum ada aturannya dan masih dibolehkan diberbagai media dengan berbagai macam bentuk. Hal itu juga menjadikan Indonesia jadi satu-satunya negara di ASEAN yang belum punya aturan pelarangan iklan rokok.

Baca juga : Pemerintah akan Atur Batasan Usia hingga Iklan Rokok Elektrik

Ada beberapa daerah yang punya aturan pelarangan iklan rokok namun secara nasional belum ada. Sehingga dari keempat rekomendasi WHO itu Indonesia belum cukup optimal dalam penerapan regulasi.

Selain itu kenaikan cukai rokok juga diperlukan untuk meningkatkan harga rokok sehingga anak-anak juga tidak bisa membeli.

Terakhir tarif cukai hasil tembakau (CHT) naik 10% pada awal Januari lalu. Sementara CHT rokok elektronik rata-rata sebesar 15% dan hasil pengolahan tembakau lainnya rata-rata sebesar 6%. Sementara cukai rokok masih dianggap rendah. Bahkan apabila cukai naik setiap tahun tidak mempengaruhi rokok menjadi mahal sehingga sulit dibeli oleh anak.

"Kita tidak bisa memilih satu atau dua regulasi saja karena itu saling berkaitan oleh WHO dan sudah terbukti di berbagai negara dalam praktik terbaik menurunkan rokok anak," pungkasnya.

Sampai saat ini memang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan terkait pengaturan rokok dan zat nikotin lainnya belum disahkan juga padahal Kementerian Kesehatan pernah menyebutkan RPP targetnya selesai tahun ini, tapi hingga kini belum disahkan. Mungkin saja ada hal yang masih digodok oleh Kemenkes atau mengikuti suasana politik. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat