visitaaponce.com

12 Ormas Desak RPP Kesehatan Disahkan untuk Lindungi Anak dari Rokok

12 Ormas Desak RPP Kesehatan Disahkan untuk Lindungi Anak dari Rokok
Ilustrasi(123RTF)

DUA belas organisasi masyarakat (ormas) mendesak segera disahkannya sejumlah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) aturan turunan Undang-Undang Kesehatan. Salah satu kebijakan yang ditunggu adalah solusi dalam mengatasi peningkatan jumlah perokok anak di Indonesia

Direktur Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari saat ditemui Media Indonesia pada Rabu (22/11), mengatakan, saat ini aturan pengamanan zat adiktif demi perlindungan rakyat khususnya anak-anak dari bahaya konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik, mendesak untuk diterapkan. 

Salah satunya bisa dilakukan lewat pembatasan akses dengan melarang penjualan produk tembakau secara ketengan, melalui mesin mandiri, dan e-commerce untuk melindungi anak-anak dari pengaruh negatif rokok.

Baca juga : Jumlah Perokok Indonesia Bertambah 8,8 Juta dalam 10 Tahun

Ia mengatakan, disahkannya segera PP ini bukan saja berkaitan tentang kepentingan kesehatan tapi juga harapan masyarakat tentang PP ini berkaitan dengan salah satu data bahwa selama 10 tahun ini perokok anak ini selalu meningkat secara terus menerus. 

"Jika tidak ada komitmen pemerintah maka tahun 2030 perokok anak di Indonesia bisa mencapai 16%,” ujar Lisda.

UU Kesehatan digugat ke MK

Desakan 12 ormas untuk mempercepat RPP disahkan berlangsung di tengah gelombang penolakan, khususnya dari sejumlah organisasi profesi kesehatan. Mereka bahkan menggugat UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga : Kemenkes: Tembakau Masuk Kelompok Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan, bukan Narkotika

Pada Kamis, 12 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji formil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) di Gedung MK, Jakarta.

Para pemohon uji formil ini terdiri dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PB IBI), dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI).

Para pemohon adalah tenaga medis yang terdampak langsung prosedur formil pembentukan UU Kesehatan. Berdasarkan norma yang terbaru, terdapat muatan yang dihapus, diubah, dan diganti norma baru termasuk mengenai organisasi profesi, konsil, kolegium, yang merupakan norma kelembagaan.

Baca juga : Pemerintah akan Atur Batasan Usia hingga Iklan Rokok Elektrik

Harapan bagi pemenuhan hak anak

Yayasan Lentera Anak berpendapat, RPP ini berbicara tentang kesehatan dan tidak ada pasal yang melarang bagi petani menanam tembakau, tidak ada larangan merokok dalam keadaan tertentu, tidak melarang perusahaan untuk memproduksi, beriklan dan menjual rokok. 

"Regulasi ini hanya membatasi bukan melarang,” ungkapnya. 

Lisda mengatakan bahwa PP Kesehatan ini menjadi harapan bagi 80 juta anak Indonesia untuk pemenuhan hak atas kesehatan tertinggi yang dijamin UUD 1945. 

Baca juga : WHO Minta Pemerintah Larang Rokok dan Vape di Sekolah

PP ini juga memastikan agar rokok tidak dijual kepada anak, agar anak-anak tidak menjadi sasaran iklan, promosi dan sponsor rokok, agar anak-anak terlindungi dari paparan asap rokok yang membahayakan hidup dan kesehatan mereka.

“PP ini untuk melindungi anak-anak dan menjadi harapan bagi lebih dari 80 juta anak Indonesia. Hal itu harus dilakukan oleh negara. Jika tidak juga disahkan, maka perokok anak akan terus meningkat. Karena itu, Kementerian Kesehatan jangan ragu dan tetap komitmen memperjuangkan kesehatan anak-anak Indonesia,” jelasnya.

Sementara itu Perwakilan dari Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi menjelaskan bahwa ada upaya penjegalan terhadap RPP Kesehatan dari berbagai pihak terutama dari pihak industri rokok hingga berbagai lembaga pemerintah.

Baca juga : Kemenkeu: Pajak Rokok Elektrik Berlaku 1 Januari 2024

“Pengamanan zat adiktif ini sangat tunggu masyarakat. Tapi ada upaya untuk menunda dan menjegal RPP melalui narasi hoax yang beredar bahwa pengesahan RPP ini akan melarang petani tembakau, menyebabkan phk massal, mematikan kreativitas media dan mengurangi pendapatan negara. Padahal tidak ada suatu negara yang menjadi bangkrut ketika mengamankan zat adiktif dengan melarang iklan rokok,” jelasnya.

Kementerian menolak pembatasan rokok

Pengurus Harian YLKI menyoroti beberapa poin tentang pengetatan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik di media penyiaran dan media pers, internet dan di luar ruang termasuk pemajangan (display) untuk mencegah dan melindungi anak-anak.

“Poin krusial yang harus diimplementasikan dalam RPP Kesehatan untuk memastikan keberhasilan pengamanan zat adiktif juga merujuk pada pembatasan akses dengan melarang penjualan produk tembakau secara ketengan, melalui mesin mandiri, dan e-commerce secara total untuk melindungi anak-anak dari pengaruh negatif rokok,” ungkapnya.

Baca juga : Rokok Batangan Jadi Pemicu Kenaikan Prevalensi Perokok Remaja

Tulus juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melindungi konsumen dari bahaya zat adiktif. Disebutkan bahwa hingga saat ini, masih ada berbagai kementerian yang menolak RPP tersebut, di antaranya adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Sekretariat Negara hingga Bea Cukai.

“Merujuk pada UU Perlindungan Konsumen bahwa konsumen berhak mendapatkan keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang maupun jasa, maka pemerintah belum cukup memberikan sosialisasi bahaya konsumsi rokok di tengah hingar bingar megahnya iklan promosi yang mengglorifikasi rokok. Maka menjadi nirlogika jika ada kementerian yang justru menolak PP ini karena yang mengatur dan melindungi kesehatan masyarakat itu justru pemerintah,” jelasnya.

Ancaman terbesar Generasi Emas 2045

Tulus menjelaskan bahwa gempuran industri rokok menjadi salah satu ancaman utama yang dihadapi generasi emas. Hasilnya, sederet riset membuktikan Indonesia masih menduduki peringkat atas perokok tertinggi di dunia.

Baca juga : Rancangan Perpres Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tidak Melindungi Anak

“Menurut data ASEAN, indeks tobacco industry di indonesia paling tinggi di Asia bahkan di dunia dengan berbagai wujud. Jika kondisi terus seperti itu, generasi emas dan bonus demografi yang digadang-gadang oleh pemerintah akan gagal dan tidak produktif karena yang akan lahir adalah generasi tak sehat, sakit-sakitan dan bahkan generasi dengan tingkat kemampuan kognitif yang rendah karena teracuni oleh zat adiktif,” jelasnya.

Disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari tujuh negara yang tak menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) meski anggota G20, negara-negara di Asia, dan negara-negara Islam sepakat dengan kerangka pengendalian tembakau ini.

Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) Tahun 2022, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.

Hasil survei GATS juga menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0.3% (2011) menjadi 3% (2021). Sementara itu, prevalensi perokok pasif juga tercatat naik menjadi 120 juta orang.

“Ketika mereka mengkonsumsi rokok elektrik bukan berarti mereka berhenti tapi menjadi two user atau pengkonsumsi elektrik dan konvensional. Rokok elektrik paling banyak diiklankan di media sosial sedangkan pengguna terbanyak didominasi oleh anak muda,” ujar Lisda. (Z-4)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat