visitaaponce.com

Para Dokter Menolak UU Kesehatan, Ini Alasannya Menurut Ketua Umum PB IDI

Para Dokter Menolak UU Kesehatan, Ini Alasannya Menurut Ketua Umum PB IDI
Ribuan dokter dan tenaga kesehatan dari lima organisasi profesi melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta.(MI/Susanto)

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Kesehatan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Kesehatan dalam rapat paripurna DPR RI pada masa sidang V Tahun Sidang 2022-23 pada 11 Juli lalu.

Namun, UU Kesehatan itu ditolak oleh para dokter. Bahkan, organisasi yang menaungi para dokter, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sempat menggelar aksi demonstrasi menentang undang-undanvg tersebut.

Baca juga: UU Kesehatan Berikan Proteksi Hukum bagi Dokter dan Tenaga Medis

Berikut ini adalah penjelasan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Muhammad Adib Khumaidi mengenai alasan mereka menolak UU Kesehatan dirangkum dalam hasil wawancara dengan mediaindonesia.com

UU Kesehatan ditolak banyak kalangan, termasuk oleh profesi dokter. Ada apa sebenarnya dengan UU tersebut?

Memang sejak awal munculnya RUU yang kini menjadi UU Kesehatan ya, ini sudah tidak sesuai dengan sebuah regulasi pembuatan undang-undang, terutama dari sisi transparansinya. 

Baca juga: Ikatan Apoteker Indonesia Siap Sambut Tantangan Era UU Kesehatan yang Baru

Saya masih ingat pada 16 September 2022 tiba-tiba beredar draf RUU yang diistilahkan sebagai draf RUU siluman. 

Pada saat itu pemerintah dan Kementerian Kesehatan mengaku RUU  bukan dibuat oleh mereka. 

Tapi konsep yang kemudian dikembangkan oleh Kemenkes, isi yang ada di dalam naskah akademik RUU kan sebuah hal yang paradoks, menurut kami ini adalah masalah ketidaktransparanan. Kalau bicara ketidaktaransparan publik, maka akuntabilitinya pun perlu dipertanyakan. 

Maka pada September 2022 itu IDI mengatakan menolak draf RUU itu.

Apa bahaya dari dihapuskannya organisasi profesi kesehatan di UU itu?

Kami melihat dihilangkannya undang-undang profesi, itu salah satu yang jadi dasar penolakan kita. Dihilangkannya undang-undang profesi di sini bukan dalam pengertian bahwa IDI yang dihilangkan, atau PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) yang dihilangkan, bukan itu. Kita bicara dalam konteks regulasi undang-undang praktik kedokteran yang mana keperawatan, kebidanan, tenaga kesehatan, itu adalah konsep lex specialist di dalam sebuah undang-undang profesi.

Jadi ini bukan bicara tentang masalah IDI-nya saja, atau PPNI-nya saja, tapi kita bicara bahwa ada konstitusi yang kemudian memilih organisasi ini untuk membantu negara. Membantu dalam hal apa? Di dalam undang-undang praktik kedokteran di situ ada konsep “protecting the people, guiding the doctor”.

Protecting the people itu apa? Memproteksi masyarakat agar mendapatkan kesehatan dari dokter-dokter ini yang sesuai dengan kompetensinya. 

Misalnya memproteksi masyarakat dari dokter yang tidak beretika.

Kenapa perlu ada namanya resertifikasi, reregistrasi, karena kalau bicara kemampuan seorang dokter, pasti ada fase yang harus kita nilai, dia itu masih bisa atau enggak? 

Di situlah di undang-undang lex specialist praktik kedokteran itu diatur sedemikian rupa dan selama ini menjadi satu dasar dalam pengelolaan kesehatan. 

Nah, kami kemudian memberikan masukan-masukan kepada Badan Legislatif (Baleg)  dan kemudian muncul draf RUU dari Baleg yang berisi poin dari masukan-masukan IDI, PDGI dan organisasi profesi lain yang diundang.

Namun, pada saat itu diserahkan kepada pemerintah, kemudian dilakukan sebuah proses public hearing, kemudian beberapa poin yang sudah bagus dari Baleg tadi malah dihapus dari daftar inventaris masalah. 

Menurut Anda apa saja kelemahan UU Kesehatan yang baru?

Ada pasal-pasal yang bukan hanya berkaitan dengan kepentingan profesi, tapi kepentingan rakyat juga hilang atau tidak menjadi konsep. Bahkan banyak substansi di dalam kesehatan yang belum masuk.

Lalu kalau dikatakan bahwa transformasi kesehatan tidak akan jalan tanpa adanya UU Kesehatan yang baru, saya tidak sepakat. Kenapa? Saya bisa jelaskan bahwa dari transformasi 6 Pilar yang disampaikan Kemenkes, pada undang-undang kesehatan yang eksisting saja itu ada sudah ada jawabannya, sehingga enggak perlu muncul undang-undang baru. 

Tapi UU Kesehatan sudah disahkan. Apa harapan IDI?

Karena UU sudah disahkan, kami enggak bisa lagi mengatakan menolak, tapi fokuskan pada tampilan transformasi ini. Kalau kita mau akselerasi yang dimulai dari sebuah undang-undang baru, ini perlu waktu lama. 

Untuk diketahui, undang-undang baru nanti akan memunculkan 115 Peraturan Pemerintah, 22 Perpres dan 22 Permenkes. Nah, ini akan lama. 

Tapi kalau kita bicara dari undang-undang kesehatan yang eksisting, dengan permasalahan mengenai transformasi tadi, tinggal implementasi di lapangannya. Tinggal bagaimana pengawasan dan monitor evaluasinya saja yang harus dilakukan dengan baik.

Apa masalah substansial di UU Kesehatan selain dihapusnya organisasi profesi?

Banyak substansi- substansi yang ternyata tidak menjadi concern, apa saja? Contoh, mengenai alokasi anggaran kesehatan yang dulu 5% kemudian diusulkan oleh Baleg jadi 10%, itu mau dihapus. Selain itu, juga berkaitan juga dengan masalah data elektronik yang penyimpanannya bisa dilakukan di luar negeri. Data kesehatan juga disebut bisa dipakai untuk kepentingan tertentu,  kepentingan tertunya apa, ini kan nggak jelas. 

Belum lagi masalah pemanfaatan organ transplan yang tidak perlu persetujuan keluarga. Selain itu, juga berkaitan juga dengan aborsi yang 14 minggu. Ini kan bisa meningkatkan angka kematian ibu jika 14 minggu, padahal kesepakatannya kan 6 minggu untuk menurunkan risiko. 

Maka itu, sebenarnya sejak awal kami sudah meminta pemerintah untuk duduk bareng, supaya kita bisa melihat secara komprehensif. 

Kata kuncinya kan juga sudah disampaikan Presiden Jokowi, yakni terkait pentingnya kolaborasi dan kesetaraan. Artinya, pesan itu bisa menjadi modal.  Kesehatan Indonesia akan lebih baik kalau membangunnya ada kolaborasi dan kesetaraan. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat