visitaaponce.com

Cuti Melahirkan untuk Ibu dan Bapak Bisa Tingkatkan Perekonomian Negara

Cuti Melahirkan untuk Ibu dan Bapak Bisa Tingkatkan Perekonomian Negara
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin kepada seorang balita di Posyandu RPTRA Serdang Baru, Jakarta, Jumat (15/7/2022).(ANTARA/ Budi Prasetiyo)

ANGGOTA Badan Legislasi Luluk Nur Hamidah mengatakan ide terkait memberikan cuti melahirkan pada ibu pekerja selama enam bulan tidak akan berdampak pada kemerosotan ekonomi negara. Begitu pula dengan memberikan cuti melahirkan untuk bapak selama 40 hari.

Luluk berpendapat dengan memberikan cuti pada ibu dan bapak untuk menemani bayi mereka yang baru lahir justru akan menguntungkan pihak perusahaan dan perekonomian negara secara tidak langsung.

“Kita lihat di Vietnam, mereka sudah bisa memberikan cuti enam bulan. Jangan-jangan ekonomi mereka bagus karena bisa memberikan level kebahagiaan, khususnya pada perempuan. Itulah amat disayangkan, kita tidak pernah menggunakan indikator kebahagiaan sih ketika merumuskan kebijakan,” ujar Luluk dalam diskusi Forum Legislasi ‘RUU Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Generasi Unggul’ di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (6/6).

Baca juga: BPOM Sita Obat Ilegal Senilai Rp18 Miliar yang Dijual di Shopee

“Dampak kebijakan itu penting pada kebahagiaan warga negara dan kebahagiaan warga negara bisa berdampak baik pada kelangsungan produktivitas mereka. Ada kok datanya yang menunjukkan lebih dari 8 persen peningkatan produktivitas ketika pekerja perasaannya happy. Ketika kamu, happy kamu bisa menjalankan perintah apapun, bahkan kita bisa melebihkan kerja-kerja kita. Karena kita happy tadi. Kita merasa nyaman, makin kreatif, dia lebih bisa berkontribusi secara konsisten. Dia juga bisa menciptakan vibe positif sehingga berdampak pada lingkungan kerjanya. Semua itu akhirnya berdampak pada keuntungan perusahaan dan perekonomian kita,“ tambah Luluk.

Karena itu, Luluk menyampaikan ide terkait cuti selama enam bulan pada ibu pekerja bukan hanya menguntungkan dari aspek kesehatan saja, tetapi juga aspek ekonomi untuk jangka panjang.

“Banyak kasus perempuan pekerja harus resigned atau dipaksa untuk PHK sukarela, atau cuti panjang tetapi tidak dibayar, itu banyak dialami perempuan. Belum lagi suami tidak bisa menunggu atau menemani istirnya melahirkan. Bapak yang istrinya melahirkan cuma dapat cuti 3 hari. Bayangkan pada saat istri bapak melahirkan, saya bilang tadi kita tidak bisa hitung berapa miliar sel darah yang harus dikeluarkan, kondisi kesakitan termasuk ancaman infeksi, pneunomia, semua yang mungkin dialami perempuan, tetapi suaminya tidak di sana karena harus bekerja. Pasangan itu akan dibayang-bayangi kegalauan dan ancaman depresi yang sama besarnya,” tegas Luluk.

Tugas maternitas seperti mengandung dan melahirkan yang dilakukan perempuan pekerja, kata Luluk, harus dijamin negara. RUU KIA tersebut diusulkan sebagai itikad baik dan juga pemenuhan hak konstitusional yang harus diberikan kepada perempuan.

“Kesejahteraan ibu dan anak harus diselenggarakan secara komprehensif, tidak terpecah-pecah seperti sekarang. Ibu ada di mana, anak di mana, pendidikan di mana, terkait dengan ini harus komprehensif satu sama lain sehingga berbagai macam intervensi itu tepat sasaran dan tepat manfaat,” kata Luluk.

Selain masalah cuti, RUU KIA juga menekankan pada mengarahkan berbagai kementerian yang selama ini terpecah-pecah dan berjalan sendiri-sendiri untuk berkoordinasi bersama demi kesejahteraan ibu dan anak. Seperti misalnya Kemendikbud-Ristek dan Kemenag mengalakkan program minum pil anemia untuk remaja perempuan sebagai bentuk mencegah kelahiran bayi stunting karena ibu memiliki riwayat anemia atau memberikan makanan tambahan di TK untuk anak usia dini.

Pemerhati Anak Retno Listyarti juga menyoroti terkait masih tingginya angka stunting di Indonesia serta banyaknya kasus perkawinan anak. Perkawinan di usia anak, kata Retno, menjadi salah satu faktor penyumbang utama mengapa kasus stunting di Indonesia tinggi sampai saat ini.

Semua itu berkelindan dan saling berkorelasi. Karena itu, harus segera diputus mata rantainya dengan segera. Retno melihat semangat untuk memutus persoalan itu sudah tercakup dalam RUU KIA yang sedang dirancang saat ini.

“Jika bicara KIA, ya kita semua harus bicara soal kesejahteraan ibu dan anak secara komprehensif kan. Mulai dari pusat sampai tingkat desa. Kalau ada anggaran desa, harusnya utamakan untuk pemberian makanan tambahan pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun tadi. Mungkin memperbaiki jalan bisa nanti. Utamanya itu dulu. Kepedulian pemerintah itu ditentukan seberapa banyak anggaran yang diperuntukan bagi ibu dan anak. Kalau kita masih ngasih anggaran yang kecil kepada ibu dan anak, berarti sebenarnya kita tidak peduli tentang masa depan Indonesia sebenarnya,” tutur Retno.

“Jika dilihat juga, tingginya angka perkawinan anak ternyata diikuti juga dengan angka stunting yang tinggi. Artinya relevansinya selalu ada. Ketika anak hamil, masih remaja, maka dia punya risiko meninggal saat melahirkan atau kemungkinan kedua anaknya stunting. Saya juga akan menyoroti kasus perkawinan anak. karena Indonesia menjadi negara ke tujuh di dunia dan kedua di ASEAN yang angka perkawinan anaknya cukup tinggi. Apa dampak perkawinan anak? Jika melihat data presentase perempuan berumur 20-24 yang pernah kawin dan perkawinan pertamanya di bawah 18 tahun, ternyata angka tinggi sekali,” pungkasnya. (H-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat