visitaaponce.com

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pangan Tingkatkan Risiko Gagal Panen

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pangan Tingkatkan Risiko Gagal Panen
Ternak di ladang kering di Lierde, sebelah barat Brussel, Belgia, pada 5 Agustus 2022.(AFP/Nicolas Maeterlinck.)

RISIKO kegagalan panen di beberapa daerah produksi roti global telah diremehkan. Ini menurut penelitian yang disampaikan pada Selasa (4/7). Menurut para peneliti, hal itu harus menjadi peringatan tentang ancaman perubahan iklim terhadap sistem pangan kita.

Produksi pangan merupakan sumber utama emisi pemanasan planet dan sangat terpapar dampak perubahan iklim. Sejumlah model iklim dan tanaman digunakan untuk mencari tahu dampaknya saat dunia memanas.

Dalam penelitian baru yang diterbitkan di Nature Communications, para peneliti di Amerika Serikat dan Jerman melihat kemungkinan bahwa beberapa daerah penghasil makanan utama dapat secara bersamaan mengalami hasil panen yang rendah. "Peristiwa ini dapat menyebabkan lonjakan harga, kerawanan pangan, dan bahkan kerusuhan sipil," kata penulis utama Kai Kornhuber, seorang peneliti di Universitas Columbia dan Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman.

Baca juga: Pemanasan Naik 1 Derajat Celsius, Hujan Ekstrem Lebih Besar

Dengan, "Meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca, kita memasuki situasi yang belum jelas. Kita berjuang untuk benar-benar memiliki gagasan yang akurat tentang jenis ekstrem yang akan kita hadapi," katanya kepada AFP. "Kami menunjukkan bahwa jenis peristiwa yang terjadi bersamaan ini benar-benar diremehkan."

Studi tersebut mengamati data observasi dan model iklim antara 1960 dan 2014. Kemudian proyeksi untuk 2045 hingga 2099.

Baca juga: Kutub Utara Menghangat, Karibu dan Muskoxen Perlambat Hilangnya Keanekaragaman

Para peneliti pertama-tama melihat dampak aliran jet alias arus udara yang mendorong pola cuaca di banyak daerah penghasil tanaman terpenting di dunia. Mereka menemukan bahwa aliran jet yang berliku-liku kuat, mengalir dalam bentuk gelombang besar, memiliki dampak sangat signifikan pada wilayah pertanian utama di Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Timur, dengan pengurangan panen hingga tujuh persen.

Para peneliti juga menemukan bahwa ini telah dikaitkan dengan gagal panen secara bersamaan di masa lalu. Salah satu contohnya pada 2010, ketika fluktuasi aliran jet dikaitkan dengan panas ekstrem di beberapa bagian Rusia dan banjir dahsyat di Pakistan. "Keduanya merusak tanaman," kata Kornhuber.

Penilaian risiko 

Penelitian itu juga melihat seberapa baik model komputer menilai risiko tersebut dan menemukan bahwa meskipun bagus dalam menunjukkan pergerakan atmosfer aliran jet, model tersebut meremehkan besarnya dampak ekstrem ini pada tanah. Kornhuber mengatakan studi tersebut harus menjadi seruan untuk membangunkan ketidakpastian kita dari dampak perubahan iklim pada sektor pangan dengan cuaca ekstrem lebih sering dan intens serta kombinasi ekstrem yang semakin rumit.

Baca juga: Peneliti Brasil Temukan Sumber CBD Baru bukan dari Ganja

"Kita perlu bersiap untuk jenis risiko iklim yang kompleks ini di masa depan. Model saat ini sepertinya tidak menangkap ini," katanya.

Pada Senin, Kepala Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Volker Turk memperingatkan tentang masa depan buruk terkait kelaparan dan penderitaan yang benar-benar menakutkan karena perubahan iklim yang ekstrem melanda tanaman, ternak, dan ekosistem penting. 

Dia mengatakan dalam debat PBB tentang hak atas pangan bahwa lebih dari 828 juta orang menghadapi kelaparan pada 2021. Perubahan iklim dapat meningkatkan angka itu hingga 80 juta pada pertengahan abad. Ia mengecam para pemimpin dunia karena pemikiran jangka pendek. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat