visitaaponce.com

Lingkungan jadi Faktor Utama Meningkatnya Perokok Anak

Lingkungan jadi Faktor Utama Meningkatnya Perokok Anak
Sejumlah anak bermain di Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Taman Situ Cibinong Plaza, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.(ANTARA/Yulius Satria Wijaya)

PENINGKATAN prevalensi perokok anak dikarenakan lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung mendukung anak mendapatkan rokok dengan mudah.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan faktor krusial yang menjadi penyebab anak mengonsumsi rokok. Dengan langkah yang tepat sasaran, diharapkan jumlah perokok anak bisa menurun drastis," kata Ketua DPR RI Puan Maharani dalam keterangan resmi, Sabtu (8/7).

Hasil studi Global Adult Tobacco Survey (GYTS) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan kenaikan harga rokok tidak terlalu berpengaruh sebagai pemicu anak menjadi perokok.

Baca juga: Tambahan Rasa pada Rokok Tingkatkan Jumlah Perokok Aktif

Adapun faktor krusial yang sangat berpengaruh terhadap prevalensi perokok anak justru dari lingkungan seperti melihat teman sebaya yang merokok dan paparan iklan rokok di berbagai media.

GYTS juga menunjukkan sebanyak 61% warung rokok berada di radius 100 meter dari area sekolah. Anak pun mudah mendapatkan rokok dengan harga relatif murah karena rokok dijual secara eceran.

Sementara itu, Data Outlook Perokok Pelajar Indonesia pada 2022 menyebut sebanyak 47,06% anak membeli rokok secara eceran dengan tempat membeli rokok terbanyak di kios dan minimarket. Ketika membeli pun sebagian besar anak tidak pernah ditanya kartu identitas atau usianya.

Baca juga: Penjualan Rokok Elektrik AS Melonjak dari 2020 hingga 2022

Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat. 

Jika pada 2013 berada di angka 7,2%, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada 2018 menjadi 9,1% pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak.

Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16% pada 2030 atau setara dengan 6 juta anak tanpa adanya upaya pencegahan yang sistematis dan masif.

Ia prihatin dengan banyaknya anak-anak yang menjadi pecandu rokok. Untuk itu, ia mendorong pemerintah mengetatkan pengawasan dan pemberian edukasi yang masif agar para generasi penerus bangsa terbebas dari bahaya rokok.

"Keprihatinan terhadap meningkatnya jumlah perokok anak bukanlah sekadar ekspresi moralitas, tetapi juga merupakan kepedulian terhadap kesehatan dan masa depan generasi kita," ungkapnya.

"Peningkatan jumlah perokok anak tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Harus ada terobosan dari pemerintah untuk menekan angka tersebut, ini juga bagian dari program jangka panjang pemerintah," tambahnya.

Perlu adanya peningkatan kesadaran untuk meminimalisir faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu peningkatan perokok anak. Di antaranya dengan perketat aturan iklan, promosi dan sponsor tentang rokok karena sarana informasi dari media sangat berpengaruh signifikan.

Puan juga mendukung dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 di mana dalam regulasi tersebut salah satunya mengenai rencana larangan penjualan rokok batangan atau eceran.

Dalam Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 23 Desember 2022 itu, termuat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

RPP prakarsa Kemenkes itu memuat tujuh pokok materi muatan yang salah satunya adalah ketentuan larangan menjual rokok ketengan mulai 2023.

Ia juga menyayangkan aturan kawasan tanpa asap rokok (KTR) yang penerapannya masih kurang optimal. Menurut Puan, implementasi serta pengawasan KTR di lapangan belum berjalan dengan baik.

"Dan penting sekali untuk lingkungan pendidikan memberikan edukasi berlebih tentang bahaya merokok kepada anak. Pastikan zona sekolah bebas dari asap rokok. Tentunya ini juga membutuhkan peran dari orang dewasa. Sebaiknya tidak merokok di depan anak-anak. Selain bahaya karena menjadikan anak sebagai perokok pasif, kita ketahui bersama anak-anak mencontoh apa yang mereka lihat," ujarnya.

Paparan asap rokok pada anak pun patut menjadi perhatian semua pihak. Dengan menjadi second-hand smoker (terpapar asap langsung dari orang yang merokok) maupun third-hand smoker (paparan tidak langsung bisa melalui residu asap rokok yang menempel di pakaian), anak akan memiliki berbagai risiko kesehatan.

Untuk diketahui, anak yang menjadi perokok pasif lebih rentan mengalami batuk lama, menderita sakit radang paru (pneumonia), dan asma. Bahkan sebanyak 165.000 orang anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat