visitaaponce.com

Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks

Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks
Ilustrasi kekerasan pada perempuan.(AFP)

DARI masa peralihan orde baru menuju reformasi sampai pascareformasi, perempuan masih belum merdeka dari ancaman kekerasan. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengungkapkan tantangan dalam mencegah dan melindungi perempuan dari kekerasan akan semakin kompleks.

Andy menjelaskan peran digitalisasi, mobilitas lintas geografis yang tinggi serta praktik politik transaksional turut mewarnai kompleksitas itu.

“Kekerasan terhadap perempuan akan semakin kompleks dan dapat terus bertambah jumlahnya. Dengan berbagai tantangan seperti digitalisasi dan lainnya itu turut melanggengkan persoalan kekerasan seksual dan praktik-praktik budaya serta kebiasaan yang harmful atau berbahaya bagi keselamatan diri dan kesejahteraan hidup perempuan. Kultur kekerasan masih mengakar, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak dan pemaksaan perkawinan lainnya,” ujar Andy dalam sambutannya di acara launching logo dan slogan 25 tahun Komnas Perempuan, Selasa (15/8).

Baca juga: BPS: Ketimpangan Gender di Indonesia Semakin Kecil

Catatan Tahunan Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2022, kekerasan termasuk kekerasan seksual dialami pada usia muda yaitu rentang 18-40 tahun dengan jumlah 2.212 kasus, atau sekitar 64% dari total 3.442 kasus. Dicatat pula 1,160 kasus dengan pelaku dalam rentang usia yang sama, 18-40 tahun, atau 38% dari total keseluruhan kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.

Pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan mencatat adanya lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah negara, sebanyak 68 kasus. Pada tahun 2022 yang di antaranya adalah konflik sumber daya alam dan tata ruang sebanyak 21 kasus. Pemuda, perempuan, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya menjadi korban dan kelompok yang terus berjuang untuk penyelesaian konflik sumber daya alam dan tata ruang.

Baca juga: Studi: Tingkat Kematian Perempuan Akibat Alkohol Lebih Tinggi daripada Laki-Laki 

“Situasi ini semakin menunjukkan kegentingan untuk menyasar pada anak muda untuk turut aktif dalam menciptakan situasi yang aman dari kekerasan sebagai syarat bagi pemuda untuk dapat berpikir kritis dan mengimplementasikan pengetahuan yang didapat untuk mengadvokasi hak warga negara dalam mendorong perubahan sosial menjadi lebih baik,” tutur Andy.

Senada, Program and Communication Officer at Asia Justice and Rights (AJAR) Raisa Widiastari mengungkapkan di momen mendekati peringatan kemerdekaan Indonesia, ternyata perempuan belum sepenuhnya merdeka dari ancaman kekerasan. Pelecehan masih marak terjadi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan hingga diskriminasi berbasis gender masih terus terjadi.

“Jika kita bicara di 1945 kita bicara bebas dari penjajah, tahun 1998 bebas dari orde baru. Tetapi pasca reformasi hingga saat ini ternyata kita (perempuan) belum bisa merdeka. Kita masih takut untuk pergi sendirian. Itu menjadi ukuran kalau kita jalan ke mana-mana sendiri lalu masih ada takut, berarti belum ada rasa aman yang diberikan negara kepada perempuan,” kata Raisa.

“Salah satu makna kemerdekaan menurutku itu kita bisa bebas pergi ke mana saja tanpa takut dilecehkan, kita tidak ada rasa takut. Masalahnya aku mau mengakui bahwa gerakan HAM, lingkungan atau pun gerakan selama ini ada, ternyata kita belum bisa lepas dari budaya patriarki dan tindakan misoginis,” pungkasnya.

(Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat