visitaaponce.com

Kemenkes Nyamuk Berbakteri Wolbachia bukan Hasil Rekayasa Genetika

Kemenkes: Nyamuk Berbakteri Wolbachia bukan Hasil Rekayasa Genetika
Petugas menunjukkan sampel nyamuk aedes aegypti yang sudah disuntikkan bakteri Wolbachia.(Antara)

Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Adaninggar Primadia Nariswari meminta masyarakat tidak khawatir soal penyebaran nyamuk berbakteri Wolbachia. Ia mengatakan nyamuk tersebut bukanlah hasil rekayasa genetik sehingga tidak berbahaya bagi manusia.
 
"Apa benar nyamuk ini hasil rekayasa genetik? kalau sudah mikir genetik pasti sudah mikir macam-macam. Padahal, sebenarnya nyamuk ini atau yang nanti disebarkan tidak melalui rekayasa genetik," jelas Adaninggal melalui akun media sosial pribadinya, Jumat (17/11).

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kemenkes menyebarkan nyamuk yang memiliki bakteri Wolbachia sebagai salah satu upaya menekan angka demam berdarah dengue (DBD) di sejumlah wilayah di Indonesia.

Baca juga: Kemenkes: Hasil Uji Wolbachia Efektif Tekan Dengue

Adapun, terkait Wolbachia, ia menjelaskan itu adalah bakteri alami yang terdapat pada 60% jenis serangga seperti lalat, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Wolbachia dapat diperbanyak dengan cara mengawinkan nyamuk yang sudah memiliki bakteri tersebut dengan nyamuk yang tidak memilikinya.

"Jadi ini adalah bakteri alami, bukan buatan atau hasil rekayasa genetika," ucapnya.

Melalui pengawinan beberapa generasi, diharapkan seluruh nyamuk aedes aegypti akan mengandung bakteri Wolbachia, sehingga bisa mengurangi penyebaran virus dengue.

Baca juga: Cegah DBD, Denpasar akan Tebar Telur Nyamuk Wolbachia

Ia juga memastikan bahwa program penyebaran nyamuk ber-Wolbachia bukan uji coba yang belum terbukti. Uji coba dan penelitian tentang bakteri itu telah dilakukan sejak 2011.

Dia menyebutkan terdapat sejumlah negara endemis DBD seperti Brasil, Australia, Vietnam, Meksiko, dan Sri Lanka yang juga menerapkan langkah serupa.

Di Indonesia, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Yogyakarta dan mampu menekan angka kesakitan akibat DBD hingga 77%, serta mengurangi risiko rawat inap menjadi 86%.

"Meskipun teknologi Wolbachia bermanfaat dan efektif, pencegahan DBD harus dilakukan dengan perilaku hidup bersih dan sehat," tandasnya.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat