visitaaponce.com

Produsen Farmasi Harus Turut Tanggung Jawab atas Kasus Gagal Ginjal Akut

Produsen Farmasi Harus Turut Tanggung Jawab atas Kasus Gagal Ginjal Akut
Para orang tua yang anaknya menjadi korban kasus gagal ginjal akut.(MI/Moh Irfan)

BEBERAPA hari lalu, tepatnya pada Rabu (10/1), pemerintah telah menyerahkan santunan kepada 312 korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), sebesar Rp16,54 miliar. Namun, santunan dirasa belum cukup karena hanya didapatkan dari pemerintah, sementara pihak produsen farmasi tidak melakukan aksi apa-apa.

Terkait kebijakan tersebut, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menegaskan sejumlah hal. Pertama, walau terlambat, kebijakan pemberian kompensasi pada korban GGAPA tersebut patut diapresiasi.

"Namun, seharusnya yang memberikan kompensasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha atau produsen farmasi yang terbukti melakukan pelanggaran atas kejadian tersebut," kata Tulus dalam keterangan resmi, Sabtu (13/1).

Baca juga: Hampir Dua Tahun Kasus Gagal Ginjal Akut, Pemerintah Minta Maaf

Berbasis UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka pelaku usaha wajib memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan atas penggunaan produknya. Apalagi produk tersebut terbukti terkontaminasi, atau sengaja dicampur, dengan zat yang dilarang yaitu etilen glikol (EG) dan deetilen glikol (DEG).

"Oleh karena itu, YLKI mendesak pelaku usaha farmasi dimaksud untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi pada korban dan keluarga korban, sebagaimana kebijakan pemerintah," ucapnya.

Baca juga: Menko PMK Harap Bantuan Korban GGPA Dapat Disalurkan Awal Januari 2024

Menurut Tulus, kejadian korban massal GGAPA, adalah kejadian yang sangat tragis dari sisi perlindungan konsumen. "Oleh karena itu, pemerintah harus menjamin bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi," imbuhnya.

Selain itu, YLKI mendesak pemerintah (Kemenkes, Badan POM) untuk meningkatkan pengawasan, baik pada level pre market control, maupun post market control. "Salah satu bentuk post market control adalah penegakan hukum yang kuat untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) pada pelaku/pelanggar, " pungkasnya.

(Z-9)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat