visitaaponce.com

Butuh Komitmen Kuat Tangani Stunting

Butuh Komitmen Kuat Tangani Stunting
butuh komitmen kuat atasi stunting(Dok)

PENGENTASAN stunting butuh komitmen kuat dari berbagai pihak, khususnya pemangku kepentingan. Pasalnya, stunting merupakan masalah yang kompleks, bukan hanya kesehatan melainkan juga sosial ekonomi.

Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama, dalam menangani stunting, dibutuhkan peningkatan taraf ekonomi masyarakat untuk meningkatkan daya beli keluarga. Agar, masyarakat mendapatkan uang yang cukup untuk membeli makanan yang memadai.

“Stunting tidak bisa di ujungnya saja diatasi, kalau bisa masyarakat lebih diberdayakan, itu akan bisa menyelesaikan masalah, bukan hanya kemampuan keuangan tapi juga pendidikan. Ini dua poin yang seakan-akan bukan masalah kesehatan, tapi intinya di sini sebenarnya,” kata Tjandra dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/1).

Baca juga : Grup Mind Id Turut Atasi Stunting Melalui Edukasi Kalangan Milenial

Hal penting selanjutnya ialah meningkatkan pelayanan kesehatan pada ibu hamil dan anak, sanitasi, ketersediaan makanan dan sebagainya. Berbagai hal tersebut harus didorong dengan political leadership.

Baca juga : Padang Kuatkan Peran Posyandu untuk Atasi Stunting

“Saya senang bahwa semua paslon kita bicara stunting walaupun tentu saja masalah kesehatan bukan hanya stunting, tapi politicalwill penting. Ini mungkin bisa jadi debat, bahwa desentralisasi bisa menjadi hal yang bagus tapi bisa juga jadi tantangan. Bagaimana masyarakat madani mengambil peran, tapi juga harus ada dana yang mencukupi,” ucap dia

Menurut Tjandra, tidak ada kata terlambat dalam penanganan stunting. Namun, perlu dilakukan dari sekarang. “Kuncinya adalah leadership, investments, dan programme scale up, maka Insya Allah ini bisa terwujud,” pungkas Tjandra.

Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat. Ia menyatakan, stunting merupakan sebuah persoalan kesehatan saat ini menjadi isu yang nyata, ada di depan mata kita, dan merupakan permasalahan kompleks yang tidak bisa dipungkiri berkaitan dengan kemiskinan ekstrem.

“Dan awal tahun catatan menunjukkan stunting menjadi masalah kesehatan serius karena kurangnya terapi yang efektif dan kondisi malnutrisi kronis yang berpengaruh pada perkembangan kognitif anak Indonesia makin banyak ditemukan karena gaya hidup masyarakat yang tidak menunjang kebutuhan perkembangan tumbuh kembang anak yang memenuhi standar kecukupan gizi,” beber Lestari.

Penelitian yang baru saja dirilis menunjukkan bahwa stunting pada anak di bawah usia 5 tahun saat ini terlihat masih cukup tinggi. Padahal jelas dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak semua usia, dan salah satu kesejahterana harus diwujudkan karena ini adalah mandat yang diberikan kepada kita semua dan jelas-jelas tercantum pada konstitusi menjadi cita-cita kemerdekaan.

“Bagaimana kemudian kita bersama-sama dapat bahu-membahu, bergandengan tangan, menyelesaikan masalah, bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata, tetapi tugas kita semua untuk mulai terjun langsung, mengambil peran, bergandeng tangan, pasti bagaimana kemudian pangan, jadi dasar pencegahan stunting, ada dan ketersediaannya dapat betul-betul ada, bukan sekadar sekian saja, tapi juga keterjangkauan dan bagaimana konsumsi pangan dari gizi yang memenuhi dengan keamanan pangan,” tutup Rerie.

Adminkes Ahli Muda Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Prasekolah Kemenkes Riffani Nur mengungkapkan, saat ini ada sedikit penurunan angka stunting, dari yang tadinya 24,4% menjadi 21,6% pada 2022. “Diharapkan penrununannya terus ada hingga kita bisa mencapai penurunan dengan target 14% di tahun 2024. Ini sebetulnya masih cukup jauh dari harapan,” ucap dia.

Beberapa permasalahan yang menyebabkan adanya stunting di antaranya ialah pemberian ASI. Sampai saat ini Kemenkes terus berupaya untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-5 bulan. Adapun, pada periode 2020-2022, pemberian ASI eksklusif menunjukkan tren yang meningkat, namun capaian indikator ini masih perlu terus ditingkatkan dan diperhatikan pemerataannya.

Selain itu, anak umur 6-32 bulan yang mengonsumsi lima dari delapan kelompok makanan selama sehari baru 58,04%. Hal tersebut menandakan bahwa masih banyak balita yang kurang gizi.

Ia menyatakan, kondisi wasting meningkatkan risiko tiga kali lipat anak menjadi stunting apabila tidak ditangani dengan baik, dan bisa berujung pada kematian. Lalu untuk tingkat kematian dan kesakitan anak dengan gizi buruk lebih tinggi 11 kali dibandingkan anak dengan gizi baik.

Tidak hanya itu, stunting pada usia 24 bulan juga memiliki hubungan signifikan dengan kemampuan kognitif anak pada saat berusia 8 tahun, 9 tahun dan 11 tahun, serta risiko tidak naik kelas atau risiko putus sekolah.

“Anak yang lahir dari ibu stunting dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tidak stunting, ternyata mempunyai rerata skor perkembangan yang lebih rendah,” ucap dia.

Karena itu, Kemenkes melakukan langkah strtaegis penanggulangan gizi buruk. Di antaranya menjamin kesehatan ibu hamil dengan pemenuhan hizi, mengatasi komplikasi kehamilan, pemenuhan gizi balita, deteksi dini masalah gizi pada balitas serta tatalaksanan balita bermasalah gizi.

Selain itu, Kemenkes juga telah menetapkan standar emas pemberian makan pada balita 0-23 bulan, yakni inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif, makanan pendamping ASI dan melanjutkan ASI sampai 2 tahun. (Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat