visitaaponce.com

RA Kartini yang Haus Ilmu Agama Islam dan Tafsir Al-Quran

RA Kartini yang Haus Ilmu Agama Islam dan Tafsir Al-Qur'an
Ilustrasi RA Kartini.(MI/Dwi Apriani.)

RADEN Ajeng Kartini diperingati perjuangannya setiap 21 April oleh Indonesia. Pahlawan nasional perempuan ini dinilai berjasa dalam memajukan kaumnya dari keterbelakangan. Siapa sangka, ternyata RA Kartini haus dengan ilmu agama Islam, khususnya tentang tafsir Al-Qur'an.

Kartini merupakan salah satu murid Kiai Sholeh Darat yang terkenal. Kiai Sholeh Darat asal Semarang ialah guru para ulama besar di Indonesia di antaranya KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama/NU).

Mari kita simak perjalan Kartini. Tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber.

Baca juga : Lirik dan Not Lagu Ibu Kita Kartini

Biografi

Kartini ialah seorang perempuan dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa. Beliau putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara saat itu, Jawa Tengah.

Ia putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama MA Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. 

Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya seorang wedana di Mayong. 

Baca juga : Contoh Puisi Kartini yang Singkat dan Menyentuh Hati

Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang bangsawan. Karena MA Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. 

Kartini ialah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini ialah anak perempuan tertua. 

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Namun setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Surat tentang Islam dan Al-Qur'an

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis, "Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?"

"Al-Qur'an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Qur'an tetapi tidak memahami apa yang dibaca."

"Aku pikir adalah gila orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tetapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak menjadi orang saleh pun tidak apa-apa asalkan menjadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"

Kartini melanjutkan curhatnya. Kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur'an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya."

"Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya."

Bertemu Kiai Sholeh Darat

Kalau membaca surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah menjadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan ilmu tasawuf.

Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah Kartini tersebut. Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kiai Sholel Darat.

Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga pamannya. Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Kiai Sholeh Darat.

Saat itu Kiai Sholeh Darat sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. Kartini menjadi amat tertarik dengan Kiai Sholeh Darat. Kartini tertegun. 

Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu. 

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.

Berikut dialog Kartini dengan Kiai Sholeh.

"Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.

Kiai Sholeh tertegun, tetapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kiai Sholeh balik bertanya.

"Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," ujar Kartini.

Kiai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. 

Kartini melanjutkan, "Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur'an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur'an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali, "Subhanallah." 

Kartini telah mengguggah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar yaitu menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Jawa. 

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam pertemuan itu, Kartini meminta agar Al-Qur'an diterjemahkan. Menurutnya, tidak ada guna membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.  

Namun, pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur'an. Kiai Sholeh Darat melanggar larangan ini. 

Beliau menerjemahkan Al-Qur'an dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur'an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Bahkan disebut-sebut ini tafsir Al-Qur'an pertama di Asia Tenggara. 

Kitab itu pula yang dihadiahkannya kepada Kartini pada saat dia menikah dengan RM Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan, "Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Namun sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami."

Melalui terjemahan Kiai Sholeh Darat itulah Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya. Ayat tersebut berarti, "Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya." (Al-Baqarah: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata dari gelap menuju cahaya yang ditulisnya dalam bahasa Belanda yaitu door duisternis toot licht. Oleh Armijn Pane, ungkapan ini diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh ialah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. 

Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman tidak selesai. Kiai Sholeh Darat keburu wafat. Namun, Kiai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. 

Pandangan Kartini tentang Barat berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa atau orang Jawa kebarat-baratan."

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis, "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai."

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis, "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah."

"Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Namun sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa  yang saya pahami."

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat